KTT Bumi: Pengertian, Sejarah, Isu, dan Hasil

Perkembangan teknologi dunia membawa kita pada abad baru di mana perubahan sosial, ekonomi, dan industri berkembang dengan pesat.

Konsekuensi dari perkembangan teknologi adalah munculnya masalah lingkungan atau polusi yang menyebabkan dampak yang besar bagi kehidupan manusia.

Permasalahan tersebut membawa kesepakatan negara-negara dunia untuk mengurangi polusi global dengan mengadakan KTT Bumi.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi diadakan pada tanggal 3–14 Juni 1992 di Rio de Jainero, Brasil yang membahas tentang isu – isu lingkungan, kelangkaan air, dan energi alternatif.

Hasil dari KTT Bumi adalah Agenda 21, Deklarasi Rio, dan Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Hasil tersebut merupakan sikap dari 178 negara dan 2.400 perwakilan organisasi non pemerintah dalam upaya menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan berskala global.

1. Pengertian

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau UNICED (United Nations Conference on Environtment and Development) adalah  konferensi yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas tentang isu lingkungan dan pembangunan.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi mendefinisikan tentang kerusakan alam yang harus dicegah dengan komitmen negara-negara untuk menjaga kelestarian lingkungan.

2. Sejarah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi

Revolusi industri memberikan dampak postif bagi kegiatan ekonomi karena pesatnya kegiatan industri. Dilihat dari sisi lain, ada pula dampak negatif dari revolusi industri yaitu rusaknya lingkungan. Melihat keresahan tersebut Pemerintah Swedia memberikan usul kepada PBB untuk diselenggarakannya konferensi internasional PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference in The Human Environtment) di Stockholm, Swedia tahun 1972.

Konferensi tersebut menjadi sejarah bagi dunia karena konferensi tersebut merupakan konferensi pertama yang membahas tentang lingkungan hidup. Konferensi tersebut memberikan hasil berupa kesepakatan dari 114 negara tentang rencana kerja, khususnya tentang perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia serta rekomendasi kelembagaan United Nation Environmental Programme (UNEP).

Pengenalan motto “hanya ada satu bumi” (The Only One Earth) dikenalkan dalam konferensi tersebut untuk memperkenalkan pentingnya menjaga lingkungan bagi penduduk dunia.

Sumber daya alam sangat terbatas tetapi kebutuhan manusia tidak terbatas membuat alam terus dieksploitasi sehingga kerusakan lingkungan terus terjadi dalam periode setelah dibentuknya UNEP.

Menanggapi hal tersebut PBB membuat Lembaga independent yang dibentuk oleh majelis umum pada tahun 1983 yang diberi nama World Commission on Environment and Development (WCED). WCED diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia, Ny. Gro Brundtland yang dapat menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan membuat laporan berjudul “Our Common Future” dengan tema “Sustainable Development” atau biasa dikenal dengan Laporan Brundtland.

Selama kurang lebih 5 tahun setelah Laporan Brundtland diterbitkan, PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau konferensi khusus tentang masalah lingkungan dan pembangunan atau dikenal dengan KTT Bumi (earth summit) pada tahun 1992 di Rio de Jainero, Brazil.

Pada KTT Bumi diperkenalkan jargon “Think Globaly, Act Locally” sebagai bentuk sosialisai mengenai pentingnya menjaga semangat kebersamaan antara upaya pembangunan oleh kelompok developmentalis dan upaya menjaga kelestarian lingkungan oleh environmentalis sehingga terbentuk sinergitas untuk menjaga bumi dari polusi dan kerusakan lingkungan.

[read more]

3. Isu yang Dibahas Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi

Salah satu isu lingkungan yang dibahas pada KTT Bumi adalah isu perubahan iklim. Meningkatnya emisi gas rumah kaca merupakan dampak dari eksploitasi sumber daya hayati yang berlebihan.

Perubahan Iklim (instagram.com)

Hal ini menyebabkan tidak terserapnya emisi oleh tumbuhan sehingga menyebabkan penuhnya gas karbon di udara dan menghalangi pantulan sinar matahari dari bumi. Pantulan sinar matahari yang tidak diteruskan ke atmosfer menyebabkan suhu bumi meningkat sehingga memicu terjadinya perubahan iklim.

Permasalahan tersebut mendorong PBB untuk membentuk konvensi perubahan iklim The Framework Convention on Climate Change (FCCC). Tujuan pokok konvensi ini adalah stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dengan cara mengurangi sumber emisi gas seperti CO2, emisi pabrik, transportasi, dan penggunaan energi fosil pada umumnya.

Dampak perubahan iklim adalah kelangkaan air. Fenomena ini terjadi akibat musim kemarau yang berkepanjangan dan tidak menentu. Selain itu, kemarau juga meningkatkan suhu bumi sehingga penguapan (evapotranspirasi) berjalan dengan cepat.

Suhu bumi tertinggi di Indonesia yang dicatat oleh BMKG adalah 39.5°C pada 27 Oktober 2015 di Kota Semarang.

Masalah air adalah masalah yang sangat fatal bila diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, PBB membuat laporan yang bertajuk “An Agenda for Water Action” bersama bank dunia.

Pembangunan berkelanjutan merupakan isu yang dibahas pada KTT Bumi. Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu aspek pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan.

Pembangunan industri menimbulkan efek bagi kemajuan ekonomi dan sosial karena manusia mendapatkan keuntungan melalui pembangunan industri serta membawa manusia pada peradaban baru.

Akan tetapi dalam aspek lingkungan, terjadi pencemaran yang luar biasa karena pada pelaksanaan pembangunan industri memerlukan bahan bakar dari alam yaitu batu bara.

Jika kegiatan industri tidak dikontrol secara serius, maka alam akan rusak dan sumber daya akan habis untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maka dari itu adanya inovasi mengenai penggunaan energi alternatif dapat digunakan untuk mengurangi dampak negatif kegiatan industri.

4. Hasil-Hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi

KTT Bumi menghasilkan dokumen yang mengikat dan tidak mengikat. Dokumen yang mengikat antara lain Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Konvensi Kerangka PBB untuk perubahan iklim. Sementara dokumen yang tidak mengikat antara lain Agenda 21, Deklarasi Rio, dan prinsip-prinsip mengelola hutan secara lestari.

Agenda 21 adalah program aksi dunia untuk pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh 178 negara, termasuk Indonesia ketika diselenggarakan KTT Bumi di Rio de Jainero tahun 1992.

Agenda 21 terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama tentang program yang berkaitan dengan dimensi sosial ekonomi. Bagian kedua tentang pengelolaan sumberdaya dan pencemaran. Bagian ketiga tentang program untuk penguatan kelompok utama.

Bagian keempat yaitu program pengembangan sarana implementasi. Pada bagian keempat dicantumkan komitmen negara maju untuk memberikan 0,7% GNP untuk negara berkembang. Nantinya Negara berkembang akan menggunakannya untuk pengelolaan lingkungan sebagai konsekuensi pengeluaran polusi yang besar dari kegiatan industri negara maju.

Deklarasi Rio merupakan kesepakatan yang dideklarasikan pada KTT Bumi Rio de Jainero, Brazil. Pada Deklarsi Rio dibentuk prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan antara lain precautionary principle, prinsip keadilan, prinsip integrasi, dan prinsip kerjasama.

Precautionary principle merupakan prinsip yang bermakna jika ada ancaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, tidak adanya bukti ilmiah tidak dapat digunakan sebagai alasan menunda usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan tersebut.

Prinsip keadilan lebih menekankan kepada hak manusia untuk menikmati hidup di lingkungan yang bersih serta mendapatkan akses yang adil dalam mengelola sumber daya alam. Prinsip integrasi dalam konsep pembangunan yang berkelanjutan sangat diperlukan dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan karena perlunya kesepakatan bersama dalam mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Sementara prinsip kerjasama pada dasarnya bertujuan agar negara-negara melakukan kerjasama melindungi dan melestarikan lingkungan.

Konvensi Keanekaragaman Hayati berisi tentang kesepakatan negara-negara tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati. Konservasi dan pemanfaatan sumber daya hayati secara lestari menjadi tanggung jawab negara, walaupun negara memiliki hak berdaulat atas sumber daya hayati yang dimiliki.

Kesadaran negara-negara tentang pentingnya konservasi dan pemanfaatan sumber daya secara lestari mampu menekan dampak terhadap perubahan iklim atau isu-isu lingkungan lainnya karena fungsi dari keanekaragaman hayati adalah untuk memelihara sistem-sistem kehidupan biosfer.

5. Peran Rimbawan terhadap KTT Bumi

Sebagai garda terdepan yang mengurus sumber daya alam khususnya hutan, rimbawan memegang peranan penting dalam mengawal kesepakatan yang telah ditetapkan pada KTT Bumi. Kebijakan seorang rimbawan merupakan implementasi dari sifat ekosentrisme yang seharusnya melekat didalam jiwa rimbawan.

Di dalam mengelola hutan, rimbawan menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan atau biasa dikenal dengan pengolahan hutan lestari (sustainable forest management). Sistem tersebut mengenalkan bahwa hutan tidak hanya bermanfaat dalam segi produksi kayu saja, namun lebih dari itu hutan memberikan jasa lingkungan yang tidak bisa digantikan dengan ekosistem lain.

Jasa lingkungan yang diberikan hutan adalah jasa tata air, jasa keindahan alam, jasa keanekaragaman hayati, jasa penyimpanan, dan penyerapan karbon.

Kesepakatan yang telah disepakati didalam KTT Bumi harus terus dikawal oleh seluruh negara di dunia agar kelestarian lingkungan dapat terjaga dan masa depan manusia dapat terjamin. Selain itu, diperlukan juga peningkatan kesadaran tiap individu untuk berperan aktif menjaga lingkungan. Tentunya sebelum merubah hal yang besar, kita harus mampu merubah hal yang kecil, bukan?

Think Globaly, Act Locally

 

Editor:

Mega Dinda Larasati

[/read]