Gajah Sumatera (Elephas maximus s): Taksonomi, Habitat & Konservasi

Gajah Sumatera merupakan salah satu satwa yang memiliki habitat asli di Indonesia.

Hewan ini adalah subspesies dari Gajah Asia yang hanya tinggal di Pulau Sumatra.

Subspesies gajah ini lebih kecil dibanding saudaranya yang berasal dari India atau kawasan Asia lainnya.

Populasi Gajah Sumatera terus menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Faktor penyempitan habitat akibat penebangan liar dan pembukaan lahan, serta perburuan liar diyakini menjadi alasan paling kuat kenapa jumlah spesies asli Indonesia ini semakin menurun.

Gajah Sumatera (instagram.com)

1. Taksonomi

Gajah Sumatera adalah salah satu subspesies dari Gajah Asia. Pada tahun 1847, gajah ini diberi nama Elephas maximus, subspesies sumatranus. Subspesies Gajah Sumatera memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil jika dibandingkan dengan Gajah Afrika atau Gajah Asia yang lain.

Berikut taksonomi Gajah Sumatera:

Kingdom Animalia
Filum Chordata
Kelas Mammalia
Ordo Proboscidea
Famili Elephantidae
Genus Elephas
Spesies Elephas maximus
Subspesies Elephas maximus sumatranus

 

Gajah Sumatera digolongkan ke dalam kelas mamalia. Hal ini tidak lepas dari ciri-ciri tubuhnya yang memiliki daun telinga, berkembang biak dengan cara melahirkan, dan menyusui anaknya.

2. Status Kelangkaan

Gajah Sumatera adalah salah satu dari beberapa jenis hewan yang dinyatakan sangat sedikit populasinya di Indonesia. Bahkan, status kelangkaan hewan ini telah dinyatakan kritis atau critically endangered sejak lebih dari 10 tahun yang lalu.

Pemerintah Indonesia juga turut andil melindungi spesies ini dari kepunahan. Gajah ini dan Gajah Kalimantan termasuk dalam jenis hewan yang dilindungi di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kemudian, juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Selain itu, ada beberapa organisasi internasional yang juga memiliki perhatian terhadap jumlah Gajah Sumatera yang tersisa. Salah satu organisasi internasional tersebut adalah International Union for Conservation of Nature atau IUCN yang menyatakan gajah ini termasuk dalam spesies yang kritis dan membutuhkan perlakuan khusus.

Hal ini tercermin jelas dari jumlah populasi Gajah Sumatera yang kian hari kian menipis. Saat ini, populasi gajah ini ada di kisaran angka 2400 – 2800 ekor saja di habitat aslinya di seluruh wilayah Sumatera. Angka ini diyakini lebih tinggi jika dibanding data aktual saat ini, mengingat terakhir kali pencatatan dilakukan di tahun 2007.

Di Riau, salah satu tempat yang menjadi benteng untuk mempertahankan spesies ini telah mengalami penurunan populasi. Tercatat pada tahun 2007, jumlah gajah yang ada di wilayah ini hanya sekitar 210 ekor, turun 84% hanya dalam waktu 25 tahun saja. Bahkan pada 2004, lebih dari 100 gajah yang mati.

Kondisi penurunan populasi ini terjadi karena beberapa faktor penting. Salah satu yang paling utama adalah karena perburuan liar yang dilakukan hanya untuk mendapatkan gadingnya. Gading gajah memang jadi salah satu komoditas paling berharga di perdagangan internasional.

Sejatinya, gading gajah telah ditetapkan dalam status Appendix I dalam perjanjian internasional CITES (perjanjian internasional yang mengatur perdagangan spesies). Namun, nyatanya gading gajah masih jadi komoditas panas di bursa perdagangan internasional.

Gading gajah dihargai sangat tinggi oleh kolektor atau calon pembelinya. Hal ini dikarenakan nilai sosial yang tinggi bisa diperoleh pemilik aksesoris atau karya seni dari gading gajah. Hal ini yang menyebabkan perburuan gajah masih marak dilakukan.

Selain itu, faktor lain penyebab berkurangnya populasi gajah yang signifikan adalah hilangnya habitat alami gajah akibat penebangan liar dan pembukaan lahan untuk kebun sawit serta kertas. Ini membuat gajah terpojok dan kebingungan.

Penebangan hutan secara liar yang terjadi secara terus menerus membuat lahan yang menjadi habitat gajah menyempit. Belum lagi kerusakan alam yang ditimbulkan dari limbah penebangan tersebut, seperti longsor dan banjir.

Kebijakan pemerintah tentang pembukaan lahan untuk kepentingan perkebunan juga turut andil dalam persempitan habitat alami gajah karena semakin banyak lahan yang terkonversi menjadi lahan komersil.

Gajah adalah hewan yang sangat bergantung pada ketersediaan ekosistem di sekitarnya. Gajah sering kali berpindah tempat untuk mencari makanan dan berpindah tempat. Oleh karenanya, keberadaan habitat sangat penting untuk kelanjutan hidup gajah ini.

Kegemaran gajah berpindah tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan habitatnya yang makin sempit membuat gajah sering kali memasuki kawasan pemukiman dan perkebunan. Hal ini berakibat pada terjadinya konflik antara manusia dan kawanan gajah.

Ancaman ini tak jarang berujung pada kematian gajah karena dianggap mengganggu kehidupan manusia. Cara yang paling sering digunakan untuk membunuh gajah adalah dengan menggunakan racun.

[read more]

3. Morfologi

Gajah Sumatera adalah salah satu subspesies keturunan dari gajah Asia. Jika dibandingkan dengan gajah Asia lainnya, seperti Gajah Kalimantan, Gajah Thailand, dan Gajah India, ukuran Gajah Sumatera lebih kecil. Gajah Sumatera bisa tumbuh tinggi sampai dengan 3 m, dengan berat badan mencapai 5 ton.

Secara morfologi, Gajah Sumatera serupa dengan spesies gajah lainnya. Telinga yang besar, selain memberikan kemampuan pendengaran yang baik juga membantu gajah menurunkan suhu tubuh. Namun, ukuran telinga Gajah Sumatera lebih kecil jika dibandingkan dengan Gajah Afrika.

Ia juga memiliki belalai yang digunakan untuk mengambil makanan dan minuman. Belalai tersebut terdiri dari setidaknya 4000 jaringan otot, dan berbentuk satu ‘jari’ di ujungnya. Bentuk ini berbeda dengan Gajah Afrika yang punya dua ‘jari’ di ujungnya.

Kulitnya memiliki tebal 2-4 cm, yang ditumbuhi rambut halus dengan tekstur yang relatif kasar. Ukuran kaki gajah dewasa berkisar antara 35 – 44 cm, sedangkan untuk gajah muda berukuran 18 – 22 cm.

Gajah Sumatera jantan memiliki gading yang panjang, sedangkan betina tidak memilikinya. Selain itu, ukuran keduanya juga berbeda, gajah jantan tingginya hingga 3,2 m dengan berat hingga 5 ton, sedangkan betina bertinggi 2,4 m dengan berat mencapai 3,7 ton.

4. Habitat dan Wilayah Jelajah

Gajah Sumatera biasanya hidup di daerah dataran rendah berlembah dengan sumber air yang cukup. Namun, gajah ini juga ditemukan di daerah dengan ketinggian di atas 1700 mdpl, seperti yang terdapat pada hutan Gunung Kerinci.

Awalnya, gajah dapat ditemukan di berbagai ekosistem. Namun, karena aktivitas manusia memperluas wilayah pertanian dan kegiatan merusak ekosistem alam lainnya, gajah menjadi semakin terpojok ke beberapa wilayah sempit.

Gajah biasanya akan sering bergerak untuk mencari makan dan minum. Pergerakan gajah juga dipengaruhi oleh musim yang ada. Pada musim kemarau, gajah akan cenderung bergerak dari hutan dataran tinggi ke hutan dataran rendah. Jika musim hujan, gajah akan melakukan hal yang sebaliknya.

Gajah termasuk hewan nokturnal, yaitu hewan yang aktif di malam hari. Mayoritas aktivitas yang dilakukan oleh gajah terjadi di kala manusia sedang tidur. Kebiasaan gajah yang aktif di kala gelap membantu mereka menghindari kontak secara langsung dengan manusia.

Wilayah jelajah gajah tergolong luas, dimana ia membutuhkan daerah seluas antara 32,4 km2 – 166,9 km2. Luas atau tidaknya wilayah jelajah ini ditentukan oleh ada atau tidaknya berbagai fasilitas hidup gajah, seperti makanan, tempat berlindung, dan tempat reproduksi.

Jarak jelajahnya juga luas, gajah bisa berjalan sejauh 7 km per hari. Jangkauan ini bisa lebih jauh lagi jika musim kering, atau musim buah tiba, yaitu menjadi 15 km per hari. Gajah Sumatera menjelajah wilayahnya dalam bentuk kelompok dan mengikuti jalur yang tetap selama satu tahun perjalanan.

5. Makanan

Sebagai hewan darat terbesar di Indonesia, gajah membutuhkan banyak sekali asupan makanan. Total, dalam sehari, gajah bisa menghabiskan 200 – 300 kilogram makanan, atau setara dengan 5% – 10% dari berat tubuhnya sendiri.

Gajah juga butuh banyak minuman. Total dalam sehari, gajah bisa menghabiskan 20 liter – 50 liter air per hari untuk menunjang pencernaannya. Ia bisa menenggak 9 liter air dalam satu kali hisapan.

Gajah memakan berbagai jenis tumbuhan, mulai dari dedaunan, rerumputan, buah, ranting, akar dan kulit batang, rotan, dan tumbuhan budidaya.

6. Sebaran

Pulau Sumatera menjadi wilayah sebaran untuk subspesies Gajah Sumatera. Tercatat, ada 7 provinsi yang menjadi habitat alami Gajah Sumatera, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung.

Gajah Sumatera (instagram.com)

Provinsi Riau menjadi pusat kegiatan konservasi gajah. Lampung juga menjadi salah satu lokasi ideal untuk pemantauan aktivitas gajah. Di provinsi ini, terdapat dua taman nasional yang berpotensi menyelamatkan populasi gajah, yaitu Taman Nasional Way Kambas (TNWK), dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Salah satu kawasan yang digunakan untuk konservasi Gajah Sumatera adalah TNBBS, yaitu kawasan hutan tropis dengan dataran rendah. Hutan ini merupakan hutan terluas ketiga di Pulau Sumatera dengan luas 365.800 ha.

7. Perkembangbiakan

Gajah Sumatera mulai produktif pada usia 10 – 12 tahun. Gajah betina akan memasuki masa kematangan reproduksi pada umur 8 – 12 tahun. Pada masa produktif, gajah jantan cenderung berperilaku agresif pada beberapa momen.

Perilaku agresif gajah jantan ini terjadi setiap 3-5 bulan sekali dengan durasi 1 sampai 4 minggu. Perilaku ini dibarengi dengan keluarnya sekresi kelenjar yang ada di wajah, tepatnya di sekitar mata dan telinga. Sekresi ini berwarna hitam dan bisa merangsang.

Tak ada batasan musim kawin untuk perkembangbiakan gajah. Kawin bisa terjadi sepanjang tahun, selama gajah menginginkannya. Namun, frekuensi perkawinan menjadi lebih sering dan menjadi bersamaan dengan datangnya musim penghujan.

Gajah betina biasanya akan mengandung anaknya dalam kurun waktu yang lama, yaitu sekitar 18 – 23 bulan. Setelah melahirkan, gajah akan menyusui anaknya sampai umur 2 tahun dan dapat mencari makan sendiri. Selanjutnya, gajah betina bisa hamil lagi dalam kurun 4 tahun setelah kelahiran anak sebelumnya.

8. Upaya Konservasi

Berbagai pihak turut serta dalam upaya konservasi yang dilakukan untuk menyelamatkan populasi Gajah Sumatera dari kepunahan. Mulai dari lembaga resmi pemerintah, hingga organisasi non-pemerintah. Pihak-pihak tersebut saling bekerjasama menyelamatkan gajah dari upaya pembunuhan dan perburuan liar yang dilakukan manusia.

Pemerintah sendiri turut andil dalam konservasi ini dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kemudian, pemerintah juga mengatur mengenai konservasi Gajah Sumatera dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Seperti yang diketahui, populasi Gajah Sumatera kini berada dalam kondisi kritis. Terakhir, jumlah gajah yang bisa teridentifikasi adalah sekitar 2400 – 2800 ekor. Padahal, gajah merupakan salah satu spesies payung dalam ekosistem hutan.

Penyusutan populasi dalam jumlah besar ini disebabkan oleh beberapa faktor utama yaitu pengurangan luas habitat dengan drastis, perburuan liar, dan konflik dengan manusia. Di beberapa wilayah pertanian dan perkebunan, gajah dianggap sebagai ‘hama’ karena merusak, atau lebih tepatnya memakan tanaman komoditi di perkebunan tersebut.

Upaya yang dilakukan pemerintah salah satunya adalah membentuk Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) yang juga menangani spesies lain yang terancam punah. BBKSDA memiliki beberapa pawang dan petugas khusus yang ditugaskan untuk menjaga dan mengawasi pergerakan Gajah Sumatera.

Para pawang dan petugas, dengan mengendarai gajah, melakukan berbagai macam kegiatan. Antara lain menggiring gajah yang memasuki pemukiman dan kebun untuk kembali ke hutan, mengembalikan ke jalur jelajah, hingga membuat lokasi konservasi baru.

Di Riau, ada Hutan Talang yang diproyeksi menjadi lahan konservasi Gajah Sumatera. Namun, upaya ini menemui jalan terjal, karena pemerintah berencana membangun jalan lingkar yang melintasi area hutan ini. Hal ini membuat luasan tanah konservasi masih kurang memadai untuk mempertahankan populasi Gajah Sumatera.

Di sisi lain, terdapat lembaga non-pemerintah yang juga turut andil dalam upaya konservasi Gajah Sumatera. Misalnya, World Wild Fund of Nature (WWF) yang sejak tahun 2004 terus berjuang membantu melestarikan mamalia besar ini dari kepunahan.

Pada tahun 2004, WWF memiliki andil besar dalam penetapan Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau. Dua tahun berikutnya, Provinsi Riau, dalam Permenhut No.5 Tahun 2006, ditetapkan sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera.

Tak berapa lama setelah ditetapkannya Taman Nasional Tesso Nilo, WWF membentuk tim patroli Flying Squad, yang bertugas untuk mengawal gajah liar yang memasuki kawasan penduduk dan kebun. Tim patroli ini terdiri dari sembilan pawang dipadu dengan empat gajah terlatih.

Tim ini berhasil menekan angka kerugian yang diakibatkan oleh konflik yang terjadi antara manusia dengan gajah, serta mencegah terjadinya pembunuhan gajah.

Lima tahun setelahnya, WWF bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memasang GPS Satellite Collar di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Upaya ini dilakukan untuk mengetahui arah pergerakan gajah berdasarkan satelit, untuk mencegah gajah masuk kawasan penduduk dan komersial, sehingga mengurangi jumlah konflik dengan manusia.

Selain itu, WWF juga melakukan penelitian terkait sebaran, populasi, dan hubungan darah yang terdapat pada Gajah Sumatera. Hal ini ditujukan agar mengetahui sejauh mana hubungan kekerabatan, baik antara individu maupun kelompok.

9. Menghindari dan Mencegah Konflik Gajah

Konflik yang terjadi antara manusia dan gajah sering kali tidak terelakkan. Hal ini terjadi lantaran manusia menginginkan daerah yang serupa dengan habitat gajah. Akhirnya konflik yang terjadi di wilayah pemukiman atau perkebunan dan pertanian.

Hidup bersebelahan dengan gajah memang bukan hal yang mudah. Tak jarang Anda akan menjumpai kawanan gajah yang melintas, atau memakan berbagai hasil kebun Anda. Namun ada beberapa kiat sederhana yang bisa Anda lakukan untuk menghindari dan mencegah konflik gajah.

Hal pertama yang perlu Anda perhatikan untuk menghindari konflik dengan gajah adalah tidak membeli lahan yang dekat dengan habitat gajah, atau dilewati oleh jalur pergerakan gajah. Jika sudah terlanjur, Anda sebaiknya menghitung resiko kerugian dan kerusakan yang bisa diderita akibat gajah.

Hal lain yang bisa Anda lakukan adalah dengan membersihkan secara rutin rumah dan pekarangan Anda dari semak belukar. Gajah menyukai tempat teduh, terutama belukar. Jaga selalu lahan Anda, dan tidak memelihara hewan seperti Anjing untuk menjaga, karena gajah cenderung mengejar hewan yang berteriak padanya.

Untuk mengurangi konflik dengan gajah, Anda bisa melakukannya dengan membangun menara pengawas, dan parit di sekitar kebun atau menara tersebut. Bangun pagar berduri, atau dengan tegangan listrik sebagai pelengkap.

Selain itu, Anda juga bisa menyalakan lampu minyak tanah di sekeliling kawasan yang membuat gajah berasumsi kalau ada manusia yang tinggal di kawasan tersebut. Anda juga bisa membakar campuran cabe, gemuk, dan kotoran gajah untuk mengusirnya dengan wewangian tersebut, serta menggunakan suara mercon dengan jarak yang aman agar gajah tidak terluka.

~

Menjaga habitat dan populasi gajah Sumatera merupakan langkah yang harus dilakukan jika ingin menghindarkan spesies ini dari kepunahan. Keberadaan gajah ini terbilang penting karena merupakan ‘spesies payung’ dari lingkungan sekitar habitatnya, serta mewakili keanekaragaman hayati di ekosistem sekitar.

Editor:

Mega Dinda Larasati

[/read]