Tulisan ini sengaja diketengahkan sebagai pembelajaran bagi kita semua untuk menyikapi perkembangan perubahan tutupan lahan khususnya lahan hijau yang orisinal dan belum terambah oleh berbagai kegiatan kita, umat manusia.
Dari pelajaran atas kejadian bencana kebakaran lahan dan hutan pada tahun 1982 hingga 1987, kawasan lahan dan hutan yang terbakar umumnya terjadi di kawasan yang sudah dibuka dan dieksploitasi untuk berbagai kepentingan.
Kondisi ini merupakan kondisi yang tidak dapat dipungkiri seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan akan lahan sebagai ruang hidup.
Pembukaan lahan ini juga menghilangkan serasah atau dedaunan hutan yang tebalnya lebih dari satu meter yang sebelumnya berfungsi untuk menjaga kelembapan.
Kondisi hutan dengan serasah yang tebal juga tentunya dapat menyimpan kadar air yang cukup untuk melawan kekeringan yang mungkin terjadi saat awan dan hujan tidak terbentuk.
Berdasarkan pengalaman penulis pun, hutan perawan yang rimbun dan teduh dapat membentuk kondisi iklim mikro yang dapat menjaga kesetimbangan air baik melalui embun pagi hari atau adanya peradaran udara mikro yang menyebabkan hujan rintik-rintik.
Kondisi hutan sebelum 1982
Apabila dicermati, sebelum kebakaran lahan dan hutan pada tahun 1982, meskipun terdapat periode kekeringan tetapi tidak tercatat adanya peristiwa yang terkait dengan kejadian kebakaran.
Hal ini menuntun kita untuk belajar pada situasi dan kondisi alam kala itu khususnya cuaca dan iklim yang sangat mantap dan stabil sehingga ketika terjadi kondisi ekstrem pun (seperti kejadian kekeringan berkepanjangan) tidak terjadi bencana kebakaran lahan dan hutan yang menyebabkan asap yang menyesakkan.
[read more]
Alam kita kini
Kondisi yang terjadi pada akhir tahun 2019 lalu, di hampir seluruh kawasan Indonesia adalah adanya kondisi ekstrem basah.
Kondisi ini ditandai dengan hujan badai dengan intensitas hujan tinggi yang berdampak pada terjadinya bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor; badai petir dengan petir yang saling bersahutan seperti perang pun terkadang memberi petaka apabila tersambar.
Kondisi badai berikutnya adalah angin badai, baik angin badai yang lurus atau berputar dengan kecepatan minimal 70 km/jam.
Kondisi alam ekstrem basah maupun kering
Kondisi cuaca dan iklim ekstrem, baik kering maupun basah kini telah memberi bencana bagi kita akibat kondisi lahan hutan maupun kawasan hutan yang sudah tereksploitasi.
Meskipun kalangan dunia, khususnya komunitas bangsa-bangsa seluruh dunia yang terpadu dalam PBB telah mencanangkan penandatanganan (ratifikasi) konvensi Perubahan Iklim mulai tahun 1990.
Namun karena bangsa Indonesia baru mulai mengeksploitasi hutan bagi kesejahteraan bangsa maka tetap saja ada kegiatan perubahan tata guna lahan dari tutupan lahan hutan menjadi tutupan lahan yang lain.
Di sisi lain, kondisi cuaca dan iklim global yang kurang bersahabat pun menjadi pemicu kondisi kekeringan yang terjadi mulai tahun 1991 hingga akhir 1997.
Adanya eksploitasi lahan dan didukung kondisi iklim kering akibat gejala alam global yang disebut “Gejala El Nino” menghantarkan hadirnya bencana nasional kebakaran lahan dan hutan pada tahun 1997.
Kejadian ini tidak hanya terjadi di Indonesia, Papua Nugini dan Malaysia pun turut mengalami bencana serupa dan menghasilkan pencemaran udara yang meluas di kawasan Asia Tenggara.
Meskipun pada kala itu juga diselingi dengan kondisi ekstrem basah, tetapi terjadi dalam waktu relatif singkat dan kejadiannya bersifat lokal.
Perkembangan kondisi cuaca dan iklim tidak mantap saat ini ditandai dengan hadirnya keragaman antara kondisi basah dan kering yang terjadi dua tahun terakhir di Indonesia.
Dimana tahun 2019 terjadi cuaca kering yang cukup panjang dan sedikit basah pada tahun 2020 yang juga terjadi badai lokal dan badai tropis yang relatif tidak terlalu sering terjadi.
Mencermati situasi dan kondisi alam
Setelah dipelajari, kondisi alam sebelum tahun 1982 cenderung memiliki cuaca dan iklim yang cukup mantap daripada setelahnya.
Ketidakmantapan ini diperlihatkan dengan frekuensi bencana hidrometeorologi yang lebih tinggi dibandingkan bencana alam lainnya, seperti gunung api atau gempa bumi tektonik.
Dengan mencermati dan menyimak dari peristiwa demi peristiwa bahwa kian terbukanya lahan atau kawasan hutan seperti berkorelasi dengan naiknya kejadian bencana hidrometeorologi.
Padahal hutan dengan tanaman tinggi, rimbun, dan serasah di bawahnya berfungsi sebagai penyangga ketersediaan air di sekitar areal hutan yang bersangkutan.
Kondisi hutan seperti ini akan menghambat proses konveksi yang berkaitan dengan awan yang menghasilkan badai, akan mejaga ketersediaan air, dan siklus hidrologi akan berlangsung secara alami.
Selain itu, pohon tinggi dan besar umumnya didukung dengan perakaran yang akan menjaga ekosistem hutan dari degradasi oleh hujan awan badai akibat proses konveksi di tempat lain.
Dari sini fungsi dan peranan hutan sangat jelas akan menjaga ekosistemnya dan melindungi dari kondisi cuaca dan iklim ekstrem.
Peranan dan fungsi hutan ini akan tercapai apabila kondisi ekosistem hutan di berbagai wilayah kembali terbentuk, meskipun memang sulit.
Keadaan ini memaksa manusia untuk melakukan penyelarasan dan penyesuaian diri dengan kondisi keragaman cuaca dan iklim sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perubahan iklim global yang kini terjadi dan sedang berlangsung.
Sebagaimana proses perubahan iklim ini berproses terus maka upaya menyelaraskan dan mengembalikan fungsi dan peranan hutan pun harus terus dilakukan.
Meski ini sulit dan membutuhkan waktu yang panjang, kita harus tetap berproses dan menjaga alam agar lebih baik.
Kiranya semoga tulisan ini berguna khususnya dalam menyikapi perkembangan kondisi cuaca dan iklim yang beragam dan terindikasi berubah bila dibandingkan dengan situasi dan kondisi yang terjadi 40 – 50 tahun lalu di kawasan sekitar kita di wilayah Indonesia.
[/read]