Siapa yang tak tahu berburu, aktivitas ini banyak dijadikan hobi yang menarik oleh beberapa orang.
Hobi ini terus mengalami perkembangan di banyak negara karena hobi ini dapat memberikan sumber devisa yang besar bagi negara tersebut. Hewan-hewan liar yang unik menjadi sasaran para penggemar hobi ini.
Hobi berburu ini mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan.
Namun karena dilakukan pada kawasan hutan khususnya kawasan hutan konservasi sehingga banyak sekali aturan yang perlu dipatuhi.
Lokasi yang dilakukan untuk berburu ini disebut Taman Buru.
1. Pengertian Taman Buru
Taman Buru adalah bagian dari kawasan hutan konservasi yang digunakan untuk wisata berburu.
Selain mempunyai fungsi untuk mewadahi hobi, taman buru ini juga mempunyai fungsi untuk mengendalikan populasi perburuan. Pengendalian populasi dilakukan terkhusus untuk hewan-hewan yang langka ataupun hewan-hewan yang sering menjadi target perburuan.
Menurut pengertiannya, taman buru berada di kawasan hutan konservasi sehingga harus mengikuti aturan dari konservasi itu sendiri. Hutan konservasi sendiri merupakan hutan yang mempunyai fungsi untuk mengawetkan keanekaragaman dari tumbuhan, satwa, dan ekosistem yang ada didalamnya.
Maka dari itu kegiatan berburu dalam Taman Buru mempunyai peraturan yang ketat terkait waktu perburuan, jenis hewan yang boleh diburu, serta jenis senjata yang diperbolehkan untuk digunakan.
Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh pengelola taman buru:
- Harus mengetahui dan memperhatikan kondisi dari jumlah individu hewan buruan dalam populasinya. Apabila dalam suatu kawasan masih banyak terdapat suatu jenis hewan, tapi apabila dalam populasinya hewan tersebut sudah mulai sedikit jumlahnya, perburuan harus segera dikurangi atau dihentikan.
- Mengetahui musim berkembangbiak dari masing-masing hewan buruan tidak kalah penting, jangan sampai memburu induk hewan yang sedang hamil. Atau, apabila baru saja ada indukan yang melahirkan lalu diburu, maka anak dari indukan tersebut besar kemungkinannya untuk mati karena tidak ada yang mengurus.
- Batas umur satwa yang diburu juga harus diperhatikan. Berikan waktu kepada hewan untuk berkembangbiak biak, sehingga tidak boleh hewan yang masih muda untuk diburu.
- Lamanya waktu berburu dan cakupan wilayah untuk dijelajahi dari setiap pemburu juga harus dibatasi demi kelestarian ekosistem.
- Tentunya harus ada batasan jumlah hewan yang diburu dalam periode waktu dan luasan tertentu.
- Jenis senjata yang dizinkan untuk digunakan, jangan sampai membahayakan lingkungan sekitar atau membuat hewan-hewan lain yang tidak menjadi sasaran buruan mendapatkan tekanan psikis atau trauma.
2. Sejarah Perburuan
Berburu sebenarnya sudah dilakukan manusia purba sejak zaman batu. Namun, berburu saat itu dilakukan bukan karena hobi tetapi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada zaman tersebut manusia purba diyakini belum mampu untuk memproduksi makanan sendiri.
Menurut catatan sejarah perburuan, aturan dalam perburuan di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Perburuan yang dilakukan secara legal tersebut diketahui sudah berlaku di Indonesia sejak tahun 1747. Berdasarkan aturan yang berlaku pada masa tersebut, hewan yang menjadi sasaran perburuan yaitu harimau dan badak.
Namun, ironisnya adalah hewan-hewan tersebut, harimau dan badak, sekarang populasinya sangat sedikit dan banyak yang sudah dikatakan punah. Jadi, aturan pada saat kolonial yang tidak tepat atau justru aturan tersebut tidak dilaksanakan?
Berdasarkan sejarah perburuan harimau yang ada di Indonesia, pada tahun 1911 di Bali Baron Oscar memburu harimau. Tahun 1910-1940 Ledeboer, seorang pemburu ulung, memburu 100 ekor harimau jawa. Tahun 1890-1900 harimau sumatera diburu oleh pemburu belanda. Tahun 1920 dan 1941 juga terjadi pemburuan harimau di Garut dan Banten. Terjadi juga perburuan Harimau Sumatera di Padang pada tahun 1900-1907.
Bersamaan dengan didirikannya VOC di Jakarta pada tahun 1600, dibuat juga Lapangan Banteng pada tahun 1644. Lapangan Banteng atau Lapangan Paviljoen ini yaitu kawasan khusus untuk areal berburu oleh Gubernur Jenderal Maetsujiker. Tak tanggung, Gubernur menyiapkan 800 pemburu untuk berburu.
Terancamnya kepunahan hewan buruan semakin tinggi akibat tingginya aktivitas perburuan yang ada pada masa colonial. Akhirnya pada tahun 1931 pemerintah belanda mengeluarkan undang-undang perburuan (Jacht Ordonantie) dan mengeluarkan pula undang-undang binatang liar (Dierenbescherning Ordonantie).
Aktivitas perburuan juga harus tunduk pada undang-undang senjata api, mesiu, dan bahan peledak. Pada tahun 1940, Pemerintah Belanda selanjutnya membentuk Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura dan pada tahun 1941 membentuk Ordonansi Perlindungan Alam.
Setelah masuk ke era kemerdekaan, akhirnya keluar Undang-undang Nomer 5 Tahun 1990. Undang-undang ini berisi tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan menggantikan peraturan perburuan pada zaman belanda. Selanjutnya aturan mengenai teknis perburuan diatur di Permenhut (Peraturan Menteri Kehutanan).
[read more]
3. Peraturan Perburuan di Indonesia
Berburu yang dilakukan di Taman Buru terikat dengan banyak peraturan teknis. Seorang pemburu yang akan berburu sebelumnya harus mempunyai surat ijin berburu. Surat ijin berburu ini baru bisa dikeluarkan apabila sang pemburu sudah mempunyai akta buru terlebih dahulu. Namun, aturan ini memiliki pengecualian bagi perburuan yang dilakukan secara tradisional
Sebelum perburuan dan setelah perburuan dilakukan, pemburu harus malapor kepada petugas kehutanan dan melapor juga kepada kepolisian setempat. Senjata berburu yang digunakan harus sesuai dengan perjanjian yang sudah dilakukan. Aktivitas perburuan juga harus dipandu oleh pemandu buru.
Jenis satwa maupun jumlah binatang buruan sudah diatur dalam Permenhut No: P.19/Menhut-II/2010 tentang Penggolongan dan Tata Cara Penetapan Jumlah Satwa Buru. Di dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa hewan buruan harus memiliki kriteria sebagai berikut:
- Hewan buruan merupakan satwa liar yang tidak dilindungi. Namun dalam kondisi tertentu, satwa dilindungi juga bisa dijadikan sebagai satwa buruan. Kasus penetapan satwa dilindungi untuk bisa atau ditetapkan sebagai satwa buru dilakukan. Tujuannya untuk mengendalikan hama, pembinaan atau pengontrolan populasi, pembinaan terhadap habitat satwa, kegiatan penelitian dan kegiatan pengembangan, digunakan untuk rekayasa genetik, untuk kebutuhan memperoleh bibit penangkaran, dan sebagai pemanfaatan dari hasil penangkaran.
- Jumlah satwa buruan berbeda-beda untuk setiap tempat. Jumlah hewan yang bisa diburu ditentukan oleh masing-masing tempat berburu. Hal ini dilakukan kerena mempertimbangkan jumlah populasi hewan dan mempertimbangkan laju peningkatan populasi hewan tertentu. Inventarisasi dan juga pemantauan secara berkala terhadap jumlah populasi dilakukan untuk menentukan jumlah maksimal hewan yang dapat diburu,
- Waktu Perburuan juga perlu diatur untuk kelestarian lingkungan maupun satwa buruan. Penetapan waktu berburu atau musim berburu harus memperhatikan keadaan sebagai berikut: keadaan dari populasi maupun jenis hewan buru, musim kawin dari hewan buru, musim beranak dan juga musim bertelur, perbandingan jantan betina dalam suatu waktu, serta umur satwa yang akan buru. Apabila terjadi ledakan jumlah hewan liar yang tidak dilindungi dan menjadi hama untuk lingkungan sekitar, maka bisa segera dilakukan tindakan perburuan untuk hewan tersebut.
- Alat Perburuan sangat penting untuk diatur dalam kegiatan perburuan agar tidak memberikan dampak lain yang tidak diinginkan. Alat buru yang diperbolehkan untuk digunakan dalam kegiatan perburuan di taman buru terdiri dari: senjata api buru, senjata angin, dan alat berburu tradisional, serta alat berburu lainnya menyesuaikan dengan jenis hewan yang akan diburu.
4. Taman Buru di Indonesia
Sebagai negara yang terkenal dengan bio diversity-nya, Indonesia mempunyai banyak jenis hewan maupun tumbuhan yang endemik dan unik. Hal ini menarik perhatian banyak orang yang mempunyai hobi berburu. Berikut daftar taman buru yang ada di Indonesia yang tersebar di berbagai daerah:
- Bangkala, berada di takalar, sulawesi selatan, seluas 4.152,50 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor : 760/kpts/um/10/82, pada tanggal 12 Oktober 1982.
- Bena, berupa dataran, berada di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, seluas 2.000,64 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI nomor: 74/kpts-ii/1996, pada tanggal 27 Februari 1996.
- Komara, berada di Takalar, Sulawesi Selatan, seluas 2.972,00 ha, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 237/kpts-ii/1997, pada tanggal 9 Mei 1997.
- Landusa tomata, berada di Poso, Sulawesi Tengah, seluas 5.000,00 ha, berdasarkan keputusan menteri Kehutanan RI nomor: 397/kpts-ii/1998, pada tanggal 21 April 1998.
- Lingga isaq, berada di Aceh Tengah, Nangroe Aceh Darussalam, seluas 80.000.00 ha, berdasarkan, keputusan Menteri Pertanian RI nomor: 70/kpts/um/2/78, pada tanggal 1 Februari 1978.
- Masigit kareumbi berupa gunung, berada di sumedang dan garut, jawa barat, seluas 12.420,70 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI nomor: 298/kpts-ii/1998, pada tanggal 27 Februari 1998.
- Mata osu berupa padang, berada di Kolaka, Sulawesi Tenggara, seluas 8.000,00 ha, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 643/kpts-ii/1998, pada tanggal 23 September 1998.
- Moyo berupa pulau, berada di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, seluas 22.250,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 308/kpts-ii/1986, pada tanggal 4 September 1986.
- Nanu’ua berupa gunung, berada di Bengkulu Utara, Bengkulu, seluas 10.000,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 741/kpts/um/11/78, pada tanggal 1 November 1978.
- Ndana berupa pulau, berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur, seluas 1.562,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 83/kpts-ii/1993, pada tanggal 1 Januari 1993.
- Pini berupa pulau, berada di Nias, Sumatera Utara, seluas 8.350,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI RI Nomor: 347/kpts-ii/1996, pada tanggal 5 Juli 1996.
- Rempang berupa pulau, berada di Kepulauan Riau, seluas 16.000,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 307/kpts-ii//1986, pada tanggal 29 September 1986.
- Rusa berupa pulau, alor, nusa tenggara timur, seluas 1.384,65 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor Nomor: 8820/kpts-ii/2002, pada tanggal 24 Oktober 2002.
- Semidang bukit kabu, berada di bengkulu utara, bengkulu, seluas 15.300,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 186/kpts/um/4/73, pada tanggal 1 April 1973.
- Tambora selatan, berada di Dompu, Nusa Tenggara Barat, seluas 30.000,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 676/kpts/um/11/78, pada tanggal 1 November 1978.
5. Berbagai Kendala Pengelolaan Taman Buru
Kegiatan perburuan masih dianggap menjadi kegiatan yang bertentangan dengan prinsip konservasi yang menjadi kendala ataupun masalah dalam pengelolaan Taman Buru. Para kelompok pecinta lingkungan dan binatang selalu menentang kegiatan perburuan ini,. Hal ini karena kegiatan ini selalu identik dengan tindakan mempermainkan hak hewan, penyiksaan dan membunuh hewan hanya untuk kesenangan belaka.
Selanjutnya di tahun 2014, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa membunuh, menyakiti, menganiaya, memburu, dan atau melakukan tindakan yang mengancam kepunahan satwa langka hukumnya haram kecuali ada alasan syar’i, seperti melindungi dan menyelamatkan jiwa manusia.
Pada kenyataannya kegiatan perburuan masih banyak yang dilakukan secara ilegal. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti masih belum ada kesadaran para pemburu tentang pentingnya kelestarian semua unsur ekosistem. Semoga ke depannya kegiatan wisata berburu bisa terus didampingi oleh upaya pelestarian.
Editor:
Mega Dinda Larasati
[/read]