Krisis iklim saat ini menjadi buah bibir para pegiat lingkungan di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Setelah selalu dihebohkan (masih juga sekarang ini) dengan isu pencemaran lingkungan, terutama ekosistem laut yang tercemar oleh sampah plastik, isu krisis iklim kembali memanas setelah banyaknya pemberitaan mengenai fenomena bencana alam hidrogeologis, seperti banjir, longsor, dan kekeringan.
Krisis iklim atau seringkali disebut perubahan iklim dianggap menjadi biang masalah dari berbagai bencana yang terjadi di Indonesia.
Awal tahun 2020 saja ternyata tidak hanya disambut dengan bisingnya suara terompet yang bikin susah tidur, tetapi DKI Jakarta pun bersukaria dengan banyaknya kolam renang baru di wilayahnya.
Hubungannya dengan krisis iklim ya tentunya fenomena alam itu dijadikan alasan utama mengapa banjir terjadi di ibu kota tercinta.
Namun apakah orang Indonesia sendiri care terhadap isu global ini?
“Saya ingin Anda panik. Saya ingin Anda merasakan ketakutan yang saya rasakan setiap hari. Kami berutang kepada generasi muda untuk memberi mereka harapan.”
Begitulah kira-kira salah satu ungkapan Greta.
Greta Thunberg, seorang bocah superior dari Swedia pun menggegarkan dunia dengan orasi-orasinya yang sangat powerful.
Mengapa tidak?
Bocah ini bahkan seringkali diapresiasi oleh para pemimpin dunia akibat keberanian dan ketangguhannya dalam menantang penghentian krisis iklim.
Greta beserta para aktivis lingkungan seringkali turun ke jalan untuk menyuarakan penyelamatan bumi dari fenomena krisis iklim.
[read more]
Dia selalu berbicara bahwa masa depan generasinya tidak akan pernah eksis karena dihabisi oleh krisis iklim.
Gerakan ini sangat masif terjadi, terutama di negara-negara yang sudah tidak berkembang lagi, seperti negara-negara eropa dan Amerika Serikat.
Berbeda dengan di luar sana, di Indonesia gerakan peduli bumi seringkali dianggap sebelah mata dan tidak punya kekuatan yang mumpuni untuk sekadar unjuk gigi di media televisi.
Sepertinya isu krisis iklim kalau boleh jujur saya katakan bukan komoditi pikirannya kebanyakan rakyat Indonesia.
Hanya segelintir orang yang faham dan golongan berpendidikan yang mau tahulah yang care tentang hal ini.
Kebanyakan orang Indonesia masih enjoy aja menghadapai isu global ini.
Di negeri demokrasi tentunya suara yang banyak yang menang.
Dan suara penyelamatan bumi menjadi marginal di tengah isu-isu kemiskinan, korupsi, dan mungkin isu-isu gosip selebiriti lebih menarik untuk dibicarakan.
Orang Indonesia merasa enjoy aja dengan adanya fenomena krisis iklim.
Saya berfikir kalau orang Indonesia tidak care terhadap krisis iklim karena memang fenomena ini tidak terasa langsung dan cepat.
Coba bayangkan apabila kenaikan suhu udara rata-rata di Jakarta menjadi kisaran 40 derajat hanya dalam 1 bulan.
Atau tiba-tiba rata-rata permukaan air laut langsung melonjak 100 cm hanya dalam kurun waktu 30 hari.
Tentunya hal ini akan sangat ramai dan menjadi headline news di berbagai media massa.
Sayangnya krisis iklim terjadi secara perlahan dan seakan tidak terjadi. Perlu puluhan tahun untuk merasakannya. Sampai akhirnya krisis iklim benar-benar garang.
Indonesia Perlu REVOLUSI IKLIM!
Terdengar sangar apabila kita baca atau dengar.
Namun, untuk menggugah jiwa dan membuka mata ini perlu dilakukan.
Isu ini harus diangkat dan menjadi buah bibir masyarakat Indonesia.
Tindakan ini merupakan bentuk mitigasi dan penyelamatan generasi muda di masa depan.
Bagaimana caranya?
Editor:
Mega Dinda Larasati
[/read]