Dilansir dari Tempo (2018), setidaknya sekitar 3 juta warga minus air bersih. Dari hasil wawancara tim Tempo, salah satu warga Muara Angke Yuningsih (30 tahun) mengatakan bahwa dalam sehari ia menghabiskan uang sebesar 15 ribu untuk membeli air bersih. Air itu pun hanya bisa digunakan untuk kepentingan krusial rumah tangga seperti mandi, minum, mencuci, dan memasak.
Masalah krisis air bersih, mungkin tidak terlalu terasa di daerah-daerah subur atau daerah pedesaan yang kondisi alamnya masih terjaga. Namun krisis air ini menjadi permasalahan yang krusial di daerah padat penduduk dan wilayah perkotaan dimana daerah resapan air sangat minim karena ketiadaan lahan. Ditambah lagi produksi limbah rumah tangga dan limbah industri yang meningkat di kawasan tersebut turut memicu minimnya ketersediaan air bersih terutama air tanah.
Mau tidak mau masyarakat harus membeli air bersih yang harganya sangat mahal. Padahal jika ditelusuri, berbagai bahan hayati yang dipandang sebelah mata memiliki potensi yang sangat besar dalam mengatasi krisis air bersih. Salah satu contohnya adalah eceng gondok.
Potensi Eceng Gondok sebagai Agen Fitoremediasi Air
Eceng gondok selama ini dikenal sebagai gulma yang sangat merugikan, terutama di wilayah perairan. Eceng gondok yang keberadaannya membludak dapat menjadi permasalahan tersendiri terutama di ekosistem perairan.
Hal ini dikarenakan eceng gondok mampu menghalangi sinar matahari untuk menembus perairan sehingga tanaman air dan fitoplankton tidak mampu berfotosintesis. Walhasil, organisme-organisme di air akan kehilangan suplai makanannya. Adanya eceng gondok juga akan menghasilkan CO2 berlebih dalam air.
Namun di balik kerugian-kerugian yang ditimbulkan, eceng gondok ternyata memiliki manfaat yang jarang diketahui masyarakat. Salah satunya adalah sebagai agen fitoremediasi. Lalu apa yang dimaksud dengan fitoremediasi? Menurut Lestari dan Hayati (2017), fitoremediasi adalah mengubah zat kontaminan (pencemar/polutan) menjadi kurang atau tidak berbahaya dengan menggunakan tumbuhan bekerja sama dengan mikroorganisme baik di tanah, air, maupun udara.
Menurut penelitian Welhelmus, dkk (2017), tanaman eceng gondok memiliki daya serap terhadap logam Cu 0,0016 mg/g eceng gondok, dan COD 0,1232 mg/g eceng gondok. Menurutnya eceng gondok menyerap polutan menggunakan akarnya yang terdiri dari serabut-serabut halus.
[read more]
Mengubah Air Kotor menjadi Air Bersih dengan Eceng Gondok
Menyaring air kotor menjadi air bersih menggunakan eceng gondok sangatlah mudah. Anda cukup menampung air kotor seperti limbah bekas mandi, mencuci, dan lain-lain di satu kolam besar atau bak penampungan yang besar. Kemudian ditutupi seluruh permukaan airnya menggunakan eceng gondok. Kemudian didiamkan semalaman atau seharian selama 24 jam.
Kemampuan eceng gondok dalam menyerap polutan akan secara otomatis membersihkan air dari sisa-sisa kotoran dan bahan kimia yang ada pada air. Untuk semakin memaksimalkan hasil airnya, Anda juga dapat menggunakan arang aktif untuk bisa mengurangi bau limbah yang masih tersisa pada air.
Walaupun air kotor dapat diubah menjadi air bersih yang harus Anda ingat adalah air bersih ini baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan air di luar konsumsi seperti menyiram tanaman atau untuk mencuci mobil. Perlu dilakukan kajian penelitian yang lebih mendalam agar air filtrasi yang menggunakan eceng gondok ini dapat diolah menjadi air yang layak konsumsi.
Walaupun belum mampu digunakan sebagai air bersih layak konsumsi, setidaknya gulma eceng gondok ini sangat potensial dalam membantu masyarakat menyediakan air bersih dalam kebutuhan rumah tangga sehari-hari mereka.
Referensi:
Welhelmus, dkk. 2017. Fitoremediasi Mengunakan Tanaman Eceng Gondok (Eichornia crassipes) Untuk Menurunkan COD dan Kandungan Cu dan Cr Limbah Cair Laboratorium Analitik Universitas Udayana. Jurnal of Applied Chemistry. Vol 5 (2).
Lestari dan Hayati, 2017. Mikrobiologi Berbasis Inkuiry. Malang : Penerbit Gunung Samudera.
[/read]