Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi terutama dari jenis fauna.
Beberapa fauna Indonesia merupakan satwa endemik yang hanya ditemukan di Indonesia.
Salah satu satwa endemik yang popular di Indonesia adalah Anoa.
Satwa endemik yang satu ini merupakan hewan sejenis kerbau kerdil yang berasal dari Pulau Celebes.
Hewan ini menjadi maskot bagi masyarakat Sulawesi khususnya Provinsi Sulawesi Tenggara.
Selain di Pulau Sulawesi, satwa endemik Indonesia juga dapat ditemui di Indonesia bagian tengah/ daerah fauna Wallace yang meliputi Pulau Sulawesi, Maluku, Halmahera, Kepulauan Nusa Tenggara, dan sekitarnya.
1. Taksonomi Anoa
Anoa merupakan hewan yang termasuk Famili Bovidae yang pada umumnya berkuku belah dan merupakan hewan pemamah biak yang berasal dari Pulau Sulawesi.
Beberapa hewan lain yang berkerabat dekat dengan satwa endemik ini adalah antelop, rusa, bison, banteng, kerbau, domba, kambing, sapi, dan beberapa hewan ternak berkaki empat lainnya. Hewan khas Sulawesi ini termasuk hewan agresif sehingga sulit untuk didomestikasi menjadi hewan ternak.
Terdapat dua jenis Anoa yang ada yaitu Anoa pegunungan/ mountain anoa (Bubalus quarlesi) dan Anoa dataran rendah / lowland anoa (Bubalus depressicornis). Kedua jenis ini dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan bentuk tanduk.
Anoa pegunungan memiliki tubuh relatif lebih kecil, berbulu lebat, berwarna lebih gelap, berekor panjang, berkaki putih, dan memiliki tanduk kasar dengan penampang segitiga.
Berbeda dengan kerabatnya, Anoa dataran rendah memiliki tubuh relatif besar, berekor pendek dan lembut, dan memiliki tanduk melingkar.
Berikut klasifikasi taksonomi dari satwa asal Pulau Sulawesi ini:
Kerajaan | Animalia |
Filum | Chordata |
Kelas | Mammalia |
Ordo | Artiodactyla |
Famili | Bovidae |
Subfamili | Bovinae |
Genus | Bubalus |
Spesies | Bubalus quarlesi
Bubalus depressicornis |
2. Status Kelangkaan Anoa
Eksistensi Anoa di Indonesia dari waktu ke waktu semakin memprihatinkan dikarenakan populasi yang kian hari terus menurun. Sejak tahun 1986 hingga saat ini kategori kelangkaan spesies yang satu ini termasuk sebagai satwa yang terancam punah (Endangered Spesies) menurut International Union for Conservation Of Nature (IUCN).
Status ini mengindikasikan bahwa satwa endemik ini merupakan satwa yang dianggap sedang menghadapi risiko tinggi kepunahan di alam liar dan perlu perhatian serius.
Menurut IUCN, terlalu sedikit data yang mengukur secara akurat terkait kelimpahan populasi Anoa di alam. Namun, diperkirakan terdapat sekitar 2500 individu dewasa dari masing-masing kedua spesies atau sekitar 5000 individu yang tersebar di beberapa tempat di Sulawesi.
Kementerian Kehutanan Indonesia (2013) melaporkan bahwa telah terjadi penurunan spesies di seluruh Sulawesi, terutama di Semenanjung Selatan dan timur laut yang diakibatkan perburuan dan hilangnya habitat.
Ancaman serius dimiliki oleh Anoa dataran rendah karena mendiami lebih banyak area yang mudah diakses oleh manusia. Spesies ini sangat rentan terjadi penurunan tajam dibandingkan Anoa pegunungan yang areanya sulit diakses karena mendiami pegunungan.
Penyebab kelangkaan hewan ini sangat jelas disebabkan oleh manusia.
Maraknya perburuan baik pemanfaatan daging maupun tanduknya dan perusakan habitat untuk perkebunan atau pertanian memaksa hewan endemik ini takluk mendekati jurang kepunahan.
Tingkat perburuan Anoa sebanyak 275 individu dewasa per tahunnya.
[read more]
3. Morfologi Anoa
Anoa sangat berkerabat dekat dengan kerbau sehingga morfologinya memiliki kemiripan dengan kerbau.
Satwa endemik ini memiliki warna kulit mirip kerbau (warna terang hingga gelap kecoklatan). Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) memiliki tinggi pundak antara 80 – 100 cm, sedangkan anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) memiliki tinggi pundak antara 60 – 75 cm.
Berat tubuh anoa dataran rendah dan pegunungan masing-masing sekitar 300 Kg dan 150 Kg.
Bentuk kepala satwa endemik ini menyerupai sapi (Bos) sedangkan bentuk kaki dan kuku menyerupai banteng (Bos sondaicus). Bagian kaki depan memiliki warna putih seperti sapi bali namun memiliki garis hitam ke bawahnya.
Tanduk satwa endemik ini mengarah ke belakang menyerupai penampang segitiga seperti tanduk yang dimiliki kerbau. Fungsi dari bentuk tanduk tersebut untuk menyibak semak-semak atau menggali tanah. Tanduk juga menunjukkan dominansi untuk bertahan hidup dari lawannya.
Tanduk Anoa dataran rendah berbentuk triangular, berkerut dan pipih dengan panjang 1,83 – 3,73 cm. Tanduk dari anoa pegunungan berbentuk bulat tanpa ada jalur-jalur cincin pada pangkal tanduk dengan panjang sekitar 14,6 cm – 19,9 cm.
Dilihat dari jenis kelaminnya, baik jantan maupun betina sama-sama memiliki tanduk di kepalanya. Perbedaan yang mencolok yaitu warna kulit jantan lebih gelap dibandingkan betinanya.
Anoa merupakan hewan yang tergolong lamban dari segi reproduksi. Sang betina biasanya melahirkan satu anak dan sangat jarang melahirkan dua anak dengan masa kandungan 275 – 315 hari.
4. Makanan
Anoa merupakan hewan herbivora seperti kerabat-kerabatnya. Di habitat aslinya, satwa ini memakan makanan yang mengandung air seperti beberapa jenis rumput-rumputan, semak, herba, bagian-bagian tumbuhan seperti daun muda (pucuk), pakis-pakisan, buah-buahan jatuh, tunas pohon, dan juga beberapa umbi-umbian.
Satwa ini merupakan jenis memamah biak atau ruminansia.
Satwa langka asal Pulau Sulawesi ini memerlukan garam yang diperoleh di alam dengan cara menjilat batu yang mengandung garam dan mineral bagi yang berasal dari pegunungan. Anoa dataran rendah biasanya memenuhi kebutuhan garam mineral dengan cara meminum air laut.
Di penangkaran, jenis makanan yang sering diberikan berupa bayam, kangkung, ubi jalar, daun kumis kucing, daun ketela pohon, buah kedondong, buah manga muda, kulit pisang, daun cabe, daun nangka, dan beberapa jenis rerumputan.
Sebagai hewan herbivora, Anoa lebih bersifat sebagai pemakan daun atau semak (browser) dibandingkan sebagai pemakan rumput (grazer). Perilaku hewan ini dibuktikan dari pengamatan satwa di Kebun Binatang Ragunan yang memperlihatkan hewan langka ini lebih menyukai makanan campuran daripada makanan tunggal.
5. Habitat dan Wilayah Jelajah
Sebagaimana kita ketahui, terdapat dua jenis Anoa yaitu Anoa dataran rendah dan Anoa pegunungan. Anoa dataran rendah biasanya menempati hutan hujan tropis, pesisir pantai, lembah-lembah, padang rumput di dataran rendah, dan terkadang di rawa-rawa dengan ketinggian 1000 mdpl.
Anoa pegunungan biasanya ditemukan di wilayah pegunungan Sulawesi yang terdapat tutupan hutannya hingga di ketinggian 2300 mdpl.
Anoa umumnya berada pada hutan yang belum terjamah (virgin forest) dengan kisaran suhu rata-rata harian 22 – 27 derajat celcius. Jenis satwa ini menyukai tempat yang berdekatan dengan aliran sungai dan hutan bambu serta menempati wilayah dengan kelerengan dan ketinggian yang bervariasi.
Pulau Sulawesi merupakan tempat yang cocok bagi kedua jenis hewan langka ini karena memiliki banyak gunung dan pegunungan sehingga tanah tergolong subur. Tanah Sulawesi memiliki beragam jenis tanaman yang cocok bagi hewan herbivora endemik tersebut.
6. Sebaran Anoa
Sebaran Anoa sangat terbatas di seluruh dunia karena merupakan hewan endemik yang hanya ditemukan di Pulau Sulawesi. Hewan langka ini ditemukan di Pulau Utama Sulawesi dan Pulau Buton di lepas pantai tenggara, belum terdapat laporan hewan ini ditemukan di pulau-pulau di sekitar Sulawesi (Burton et al. 2005).
Menurut Groves (1969), Anoa pegunungan juga di temukan di semenanjung utara dan sebagian semenanjung tenggara Pulau Sulawesi.
Menurut Gunawan (1996) anoa juga dapat ditemukan di Pulau Sulawesi yang meliputi Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.
Berdasarkan peta sebarannya dan fakta populasinya di alam, distribusi satwa ini mengalami laju penurunan yang begitu cepat di Sulawesi bagian utara. Hal ini dibuktikan di beberapa kawasan konservasi keberadaan hewan langka ini di Sulawesi Utara seperti Cagar Alam Gunung Ambang, Cagar Alam Tangkoko Batuangus, dan Cagar Alam Manembo-nembo yang telah mengalami kepunahan secara lokal.
Beberapa tempat yang dilaporkan masih terdapat satwa langka ini adalah Cagar Alam Gunung Lambusango, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Suaka Margasatwa Nantu, Pegunungan Takolekaju, Pegunungan Latimojong, Pegunungan Quarles, hutan lindung di sekitar Danau Towuti dan Danau Matano, hutan Tanjung Peropa, hutan di Kolaka, Pegunungan Abuki dan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
Populasi hewan eksotik ini pun sangat terbatas dan mendiami hutan-hutan yang belum terjamah oleh manusia (virgin forest).
7. Perilaku
Perilaku satwa langka ini biasanya hidup secara soliter atau semisoliter, dan jarang sekali ditemukan dalam kawanan besar. Jika ditemukan dalam kawanan, tak jarang hanya berjumlah dua sampai lima ekor saja. Kawanan tersebut biasanya terdiri dari sepasangan individu, Anoa yang sedang mengandung, atau pun sang induk yang bersama anaknya.
Hewan unik ini umumnya hidup di hutan-hutan yang lebat, dekat aliran sungai, rawa-rawa, danau, dan sumber air panas yang mengandung mineral garam di beberapa pesisir pantai Sulawesi.
Perilaku unik lain dari hewan ini adalah memerlukan mineral berupa garam alam. Anoa pegunungan biasanya menjilati batu yang mengandung garam mineral, sedangkan anoa dataran rendah memenuhi kebutuhan mineralnya dengan cara meminum air laut.
Hewan jantan memiliki perilaku unik yang terlihat sering menandai batang pohon dengan tanduknya, setelah itu sang jantan akan kencing dan menggaruk tanah di sekitar pohon tersebut. Perilaku tersebut dilakukan sang jantan untuk menunjukkan wilayah kekuasaannya.
Anoa akan sangat agresif ketika sedang dalam masa birahi, terluka, sedang mengandung, dan bersama anaknya.
8. Perkembangbiakan
Indukan rata-rata melahirkan satu bayi Anoa saja dan jarang sekali melahirkan dua bayi. Masa kehamilan atau hewan ini mengandung sekitar 275 sampai 315 hari.
Saat dilahirkan bayi Anoa memiliki warna bulu cokelat kekuningan atau keemasan dengan bulu yang sangat tebal. Warnanya perlahan akan menjadi gelap seiring bertambahnya usia.
Antara enam bulan sampai sembilan bulan anak Anoa akan bersama induknya, dan akan memisahkan diri ketika dewasa.
Anoa memiliki usia harapan hidup sampai berumur 20 tahun hingga 30 tahun dan sudah mampu berkembang biak pada umur 2 tahun atau umur 3 tahun.
9. Upaya Konservasi
Populasi Anoa di alam liar diperkirakan kurang dari 2500 individu dewasa dari masing-masing kedua spesies dengan laju penurunan populasi selama kurang lebih 14 – 18 tahun terakhir ini sekitar 20%. Kondisi ini dipicu oleh pesatnya pertumbuhan penduduk saat ini di Pulau Sulawesi.
Faktor utama penyebab tajamnya penurunan populasi satwa khas Sulawesi ini adalah manusia. Maraknya pembukaan hutan untuk perkebunan, pertambangan, pertanian, dan permukiman membuat wilayah jelajah Anoa terfragmentasi sehingga menempati tempat-tempat yang kecil di seluruh tempat di Sulawesi.
Perlu diketahui bahwa Anoa tidak memiliki predator alami di alam. Satu-satunya predator atau musuh satwa langka ini adalah manusia itu sendiri. Perburuan anoa sampai saat ini masih sering terjadi yang dilakukan masyarakat sekitar untuk dikonsumsi dagingnya.
Sekitar 275 individu dewasa berkurang setiap tahunnya karena perburuan. Dilansir dari KOMPAS (01/10/2016) daging hewan ini masih marak diperjualbelikan dengan harga Rp30.000,00 per kilogramnya.
Harga daging yang lebih murah dibandingkan daging sapi menjadi alternatif lain bagi masyarakat yang ingin mengonsumsi daging. Perdagangan ini masih dijumpai di Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Para pemburu adalah masyarakat lokal setempat.
Sejak tahun 1986 anoa telah masuk ke dalam hewan terancam punah oleh International Union for Conservation Of Nature (IUCN) sehingga populasinya sedang berisiko tinggi terancam mengalami kepunahan di alam.
Sedangkan menurut Covention of International Trade of Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) hewan ini termasuk ke dalam Appendix I yang artinya tidak boleh diperjualbelikan atau bebas dari perdagangan.
Upaya-upaya konservasi yang dilakukan untuk menjaga Anoa agar tetap eksis sudah sejak lama dilakukan. Sejak tahun 1936 telah diterbitkan peraturan Ordinasi Perlindungan Binatang Liar yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kala itu. Peraturan tersebut menyatakan bahwa anoa wajib dilindungi karena sebarannnya yang sangat terbatas di alam.
Fauna asal Sulawesi ini dilindungi secara hukum oleh pemerintah Indonesia dalam Peraturan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Upaya perlindungan satwa ini mengalami perkembangan dengan dikeluarkannya Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) No. 54 Tahun 2013 yang mengatur tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) anoa Tahun 2013 – 2022.
Dikeluarkannya peraturan KLHK ini ditengarai oleh program pembangunan yang harus selaras dengan konservasi satwa langka dan habitatnya. KLHK sendiri memiliki tugas dan dibebani untuk meningkatkan populasi spesies yang terancam punah sebesar 10% sehingga harus gencar melakukan upaya konservasi.
Selain upaya konservasi yang dipayungi hukum, penangkaran merupakan pilihan lain sebagai upaya dalam menyukseskan upaya perlindungan satwa ini. Upaya konservasi secara ex-situ ini memiliki tujuan utama memperbanyak populasi dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Penangkaran anoa sudah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait di beberapa Taman Nasional (TN) di Sulawesi.
Penangkaran satwa langka ini yang terkenal adalah Anoa Breeding Center (ABC) di Manado. ABC Manado diresmikan pada tahun 2015 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terdiri dari 5 ekor jantan dan 2 ekor betina.
Anoa Breeding Center (ABC) merupakan bentuk kesadaran masyarakat dalam upaya menyelamatkan Anoa dari ambang kepunahan yaitu dengan menyerahkan hewan endemik ini ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara dan dipelihara oleh BPK Manado.
Kendati upaya penangkaran yang terus berkembang, masih diperlukan berbagai banyak penelitian terkait pola reproduksi Anoa yang masih memiliki keterbatasan informasi. Penelitian dari berbagai pihak seperti badan penelitian di Indonesia dan mahasiswa harus bekerja sama dalam hal ini. Dukungan dari pemerintah pusat terkait anggaran juga sangat diperlukan agar upaya konservasi berjalan dengan lancar.
Anoa merupakan salah satu dari banyaknya hewan unik di Indonesia yang terancam punah di alam. Berbagai upaya harus dilakukan untuk menjaga hewan unik asal Sulawesi ini agar ekosistem hutan seimbang dan terjaga. Kerjasama dari berbagai elemen masyarakat perlu dikuatkan agar maskot Provinsi Sulawesi Tenggara ini tidak menjadi dongeng semata di masa depan.
Editor:
Mega Dinda Larasati
[/read]