Rimbawan Kekinian

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali kekayaan alam hayati. Sebesar 12% spesies mamalia, 7,3%  spesies reptil dan amphibi, juga 17% spesies burung di dunia disumbang oleh hutan Indonesia. Berdasarkan data FAO hutan Indonesia secara keseluruhan menyimpam 289 gigaton karbon dan memegang peranan penting menjaga kestabilan iklim dunia.

Karena fakta ini lah, hutan Indonesia layak disebut sebagai paru-paru dunia. Namun rasa kebanggan ini nampaknya harus sedikit dihilangkan oleh masyarakat Indonesia disebabkan laju deforestasi yang terus menerus setiap tahunnya pada hutan Indonesia.

kebijakan kehutanan
Fakta Laju Penurunan Hasil Hutan Indonesia

Kurun waktu tahun 60-an hingga awal tahun 1998 merupakan rising industry hutan Indonesia, di mana pada saat itu para pekerja yang berhubungan dengan masalah kehutanan mampu mengambil keuntungan besar atas hasil hutan-hutan di Indonesia.

Dibuktikan dengan fakta bahwa saat itu Indonesia menjadi eksportir terbesar industri kayu dunia, salah satu nya ekspor kayu ramin yang banyak diminati negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat (USA). Awal tahun 80-an, Indonesia mengekspor kayu jenis ramin sebesar 598.000 m3 per tahunnya atau senilai dengan US$ 119 juta. Kemudian di tahun 1987 Indonesia mengekspor kayu ramin sebesar 299.000 m3 yang nilainya setara dengan US$ 86 juta.

Berdasarkan data kegiatan investigasi yang dilakukan oleh Environmental Investigation Agency (EIA), selama tahun 1995-2000 EIA mencatat bahwa jumlah total volume ekspor kayu ramin dari Indonesia sebesar  ±74,31 juta/kg (US$ 135,51 juta) dan sebanding dengan ±46,814 m3 atau ±12,38 juta/kg setiap tahunnya.

Dari tujuh pasar ekspor terbesar kayu ramin, Jepang tetaplah menjadi pasar ekspor terbesar atau sebesar 35% dari total volume ekspor ketujuh negara pengimpor terbesar yang diikuti oleh Taiwan, Italia, Amerika Serikat (USA), Hongkong, Tiongkok, dan terakhir adalah Singapura.

[read more]

Sektor dan permasalahan kehutanan merupakan tumpuan yang benar-benar diandalkan pemerintah Indonesia untuk menghasilkan devisa. Saat itu Indonesia memegang kendali penuh terhadap perdagangan kayu yang ada di dunia hingga benar-benar mensejahterakan para pekerja yang bekerja di sektor kehutanan, pengusaha kayu hingga menjadi pemicu semangat tersendiri bagi calon-calon mahasiswa yang ingin mengambil jurusan kehutanan untuk menjadi rimbawan muda dan pada akhirnya menjadi sarjana kehutanan.

Namun masa keemasan ini tidak lah berlangsung dengan jangka waktu yang cukup lama, tahun 1998 merupakan awal dari kemerosotan tentang kesejahteraan hutan di Indonesia, banyaknya permintaan ekspor kayu dunia yang tidak dibarengi dengan reboisasi yang mengakibatkan laju deforestasi dari tahun ke tahun semakin memburuk, melemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) hingga illegal logging besar-besaran yang dilakukan sekelompok oknum demi menebalkan kantong pribadi seperti halnya di pulau Kalimantan, belum lagi bermunculan berita di kurun waktu 2017-2018 ini hutan-hutan lindung di kawasan Taman Nasional (TN) terbakar, seperti terbakarnya kawasan Taman Nasional (TN) Gunung Ciremai, kebakaran hutan Pulau Gililawa di kawasan Taman Nasional Komodo hingga kebakaran lebih dari 40 hektar lahan restorasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Bukit Betabuh, Riau (9/1/17).

Beda Zaman Beda Semangat

Pada zaman keemasan hutan Indonesia, banyak mahasiswa Indonesia termasuk mahasiswa kehutanan Indonesia saat itu yang mengerti betul peranannya sebagai orang yang sedang belajar di institusi, memikul tanggung jawab besar dalam melaksanakan fungsinya sebagai kaum muda terdidik yang harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan negerinya masa kini dan masa depan.

Masa saat dimana masih lekatnya rasa nasionalisme dalam jiwa sebagai kaum muda yang baru keluar dari era penjajahan dan sedang membangun negeri nya. Berangkat dari hasrat menggebu-gebu untuk memperbaiki tatanan hutannya guna merasakan bahagianya bertanggung jawab atas kekayaan alam sendiri.

Salah satu tokoh rimbawan muda Indonesia di era sebelum reformasi adalah Joedarso Djojosoebroto, pria yang lahir pada tanggal 29 september 1943 ini pernah menceritakan bahwa dia adalah orang yang menjadi rimbawan secara ‘tidak sengaja’.

Dia merupakan seorang anak anggota kepolisian yang bercita-cita ingin menjadi sinder pabrik gula. Setelah lulus dari sekolah negeri di Probolinggo yakni SMA Negeri Probolinggo pada tahun 1963, Joedarso berangkat ke Bogor dengan tujuan ingin mendaftar di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan ilmu pertanian guna memuluskan cita-citanya sebagi sinder pabrik. Namun sepertinya takdir tidak memihak sama dengan cita-cita nya, Joedarso terlambat hingga pendaftaran jurusan pertanian telah ditutup.

Saat itu petugas pendaftaran menawarkannya dua pilihan jurusan yang masih dibuka yakni jurusan ilmu perikanan dan kehutanan. Dan pada akhirnya Joedarso memilih jurusan kehutanan.

Kendati berawal dari ketidaksengajaan, bukan berarti Joedarso tidak serius menjalani prosesnya sebagai mahasiswa yang akan menjadi rimbawan muda. Kritis, tajam intelektual, independensi serta berenergi besar. Itulah sosok yang menggambarkan pribadinya dan pribadi-pribadi mahasiswa Indonesia termasuk mahasiswa kehutanan saat itu. “Mengelola hutan industri salah satu kunci nya, kita harus mencintai setiap batang pohon seperti mencintai anak sendiri” adalah prinsip teguh nya dalam melestarikan hutan Indonesia.

Kerja nyatanya sebagai sarjana kehutanan terbukti pada tahun 1972  saat menangani proyek penghutanan lahan alang-alang di lembah sungai Musi, Palembang-Sumatera Selatan. Joedarso fokus pada penanganan perbaikan lingkungan hidup, peningkatan produktivitas lahan serta menambah lapangan perkerjaan.

Dan kini hasil kerja keras nya sejak tahun 1972 itu benar-benar membuahkan hasil karena semangat dan kerja kerasnya memperbaiki hutan Indonesia Joedarso berhasil menghijaukan 20.000 hektar lebih lahan alang-alang di lembah sungai Musi.

Tentu fakta tersebut cukup bertentangan dengan keadaan mahasiswa kehutanan saat ini yang bersifat menggandrungi gagasan merkanitilisme yang berakibat pada kurangnya semangat belajar yang tinggi untuk kelestarian hutan Indonesia.

Banyak mahasiswa kini memilih jurusan kehutanan hanya demi gengsi semata agar layak dan paten disebut sebagai rimbawan muda yang sesungguhnya namun tak mampu memberikan kontribusi terbaiknya untuk perbaikan hutan Indonesia masa kini dan masa depan.

Hal ini merupakan implikasi dari banyaknya komunitas-komunitas yang mengatasnamakan pecinta alam yang bermunculan di media sosial. Mengatasnamakan diri sebagai mahasiswa modern yang kekinian, mencintai kealamian alam padahal tidak memperlihatkan fakta sebagai mahasiswa yang melestarikan kehijauan hutan Indonesia.

Terlalu banyak fakta bahwa saat ini banyak calon mahasiswa yang ‘manja’, berangkat dari rumah dengan semangat tinggi mendaftar Fakultas Kedokteran (FK) misalnya, namun gagal dan pada akhirnya mau tidak mau masuk fakultas lain nya dengan semangat yang tak lagi sama.

“Yah ketimbang harus menunggu tahun depan mencoba lagi, ya sudah lah tak apa masuk kemana saja yang penting sama-sama bergelar sarjana setelah wisuda”. Kalimat ini tentu tidak dapat dikatakan baik, banyak pada akhirnya mahasiswa menjadi tidak serius dan tidak dapat mengimplementasikan dengan maksimal ilmu yang didapat dari bangku perkuliahan.

Menjadi mahasiswa yang mudah ‘disetir’, tidak memiliki arah dalam memanfaatkan ilmu. Tidak ada motivasi, menjadikan institusi hanya sebagai sarana pamer intelegensi.

Belakangan muncul trend komunitas pendaki gunung dan pecinta alam yang banyak membagikan foto berlatar belakang rimbunnya pepohonan, kawah gunung berapi yang epic serta bumbungan awan yang menawan. Beramai-ramai pergi ke rimba membawa banyak perbekalan yang tanpa disadari mengancam kerusakan hutan, seperti sampah plastik untuk membawa logistik dengan alasan kepraktisan.

Ya benar, Taman Nasional dan Hutan Lindung memang menawarkan keindahan ciptaan Tuhan yang eksotis dan khas dengan segala keunikan yang dimilikinya. Kesejukan, kealamian dan keindahannya boleh dinikmati secara gratis oleh siapa saja yang ingin melihat kesempurnaan alam.

Kini berbicara tentang mahasiswa kehutanan yang terpikirkan oleh masyarakat adalah orang-orang yang menjadi garda terdepan mengembangkan hutan Indonesia. Dipundak para sarjana kehutananlah beban tanggung jawab kelangsungan masa depan hutan Indonesia dipikul.

Banyak fakta perihal kerusakan-kerusakan hutan di Indonesia adalah karna tingkat deforestasi yang tinggi, masalah tata ruang yang buruk yang mengakibatkan banyak bencana seperti banjir dan longsor. Tentu nya hal ini lah yang membuat rasa pesimisme dan melemahkan pergerakan dikalangan rimbawan muda yang memang sudah lemah karna kurang nya motivasi sebagai kaum muda yang akan mendedikasikan diri untuk masa depan hutan Indonesia. Bahkan tak sedikit sarjana kehutanan yang tidak mengabdikan  dirinya untuk dunia kehutanan, dan biasanya mereka bekerja diluar sektor kehutanan.

Ada sebuah kalimat paradoks “Semakin banyak sarjana kehutanan, maka semakin rusaklah hutan kita”. Kalimat ini dapat diartikan dengan banyak makna,tak perlu diperdebatkan apa sesungguh nya maksud dari kalimat tersebut. Namun mari kita ambil satu makna yang berkaitan dengan kalimat tersebut. Mengapa mengurus hutan saja dibutuhkan banyak sarjana kehutanan ? Apakah hal ini hanya merupakan tanggung jawab para rimbawan muda yang bergelar sarjana kehutanan ? Jika mengutip kembali ungkapan Joedarso Djojoesobroto “Mengelola hutan industri salah satu kunci nya, kita harus mencintai setiap batang pohon seperti mencintai anak sendiri” maka rasanya tak perlu banyak orang yang bergelar sarjana kehutanan untuk mengurusnya. Tidak perlu banyak orang untuk mencintai, merawat, dan melestarikan hanya satu batang pohon. Setiap dari kita memiliki kewajiban yang sama, karena pohon-pohon itu merupakan anak-anak kita yang semestinya kita jaga dan rawat dengan sepenuh hati untuk generasi berikutnya.

Peran Rimbawan Kekinian untuk Hutan Indonesia

Sudah cukup lama rasanya hutan Indonesia dalam masa keterpurukan, bahkan tak jarang masyarakat Indonesia sendiri pun mengatakan bahwa hutan kita tidak memiliki masa depan yang jelas. Hal tersebut dikatakan lantaran ketidakpercayaan masyarakat kita sendiri terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) karena banyaknya temuan penyelewengan di dalam lembaga-lembaga yang menangani masalah kehutanan. Seperti halnya temuan tindak pidana korupsi sejak tahun 2001 hingga 2015 sebanyak 39 pelaku korupsi sektor kehutanan yang terdiri dari anggota DPR, pejabat Kementerian Kehutanan hingga Kepala Daerah.

Maka sudah saat nya mahasiswa Indonesia bergerak dan bangkit  menentang ego sendiri untuk perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) serta perbaikan hutan yang sejuk untuk demi dirasakan generasi mendatang agar mereka tahu dan sadar bahwa hutan Indonesia adalah Ibu untuk dunia yang harus dilestarikan.

Sudah saatnya mahasiswa kehutanan berani mengambil langkah perubahan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, menghijaukan kembali hutan dan memiliki rasa tanggung jawab penuh terhadap masa depan kehutanan Indonesia.

Maka untuk mewujudkan dan membangun masa depan hutan Indonesia yang lebih baik, setidaknya ada beberapa upaya sederhana dan peran yang bisa diambil oleh para rimbawan muda kekinian saat ini, seperti:

Pertama, hal yang mendasar harus dimulai dalam diri rimbawan sendiri yakni kurangi ego maka ecology akan stabil. Dengan beberapa contoh sederhana: kurangi ukuran font pada lembar kerja agar memperkecil penggunaan kertas untuk meminimalisir penebangan kayu untuk produksi kertas dan tidak menggunakan sampah pelastik berlebih.

Kedua, dengan memanfaatkan era milenial. Generasi milenial memiliki banyak kelebihan dalam pemanfaatan teknologi dan kreativitas. Rimbawan muda saat ini bisa memanfaatkan teknologi menggunakan sosial media dan lainnya untuk mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan kebaikan masa depan hutan Indonesia yang lebih baik, contoh sederhananya adalah membagikan foto di sosial media dengan latar belakang hutan yang hijau dan mengisi caption dengan ajakan-ajakan yang positif dengan tujuan memberikan cara pandang yang baik tentang kebaikan masa depan hutan Indonesia.

Ketiga, memanfaatkan ruang lingkup pergaulan. Mengajak teman-teman sesama rimbawan muda untuk membuat sebuah wadah komunitas pecinta alam yang terbuka bagi umum untuk menebarkan inspirasi positif dengan gagasan-gagasan ringan yang mudah diterima dan diimplementasikan kaum muda namun tetap dalam koridor tujuan menciptakan hutan Indonesia yang lestari.

Keempat, mahasiswa sebagai inisiator kehutanan. Mahasiswa kehutanan merupakan elemen penting dalam meningkatkan pengembangan hutan. Mereka memiliki ide dan pemikiran yang cerdas untuk bisa merubah paradigma yang berkembang untuk membuat gagasan-gagasan baru yang berkaitan dengan sektor kehutanan agar lebih jelas dan terarah sesuai kepentingan bersama, bukan hanya sekelompok orang atau pribadi.

Kelima, mahasiswa sebagai agent of change. Mahasiswa bisa menggunakan hardskill dan softskill mereka yang didapat dari bangku perkuliahan untuk dapat diimplementasikan dalam kerja nyata kehutanan guna mewujudkan hutan yang hijau masa kini dan masa depan. Memberikan edukasi untuk masyarakat awam yang hanya memiliki hardskill, membagi hasil penelitian mereka atau apapun yang mereka dapatkan di institusi yang masyarakat belum ketahui untuk membawa perubahan-perubahan yang lebih baik bagi hutan Indonesia.

Keenam, mahasiswa sebagai moral force. Mahasiswa kehutanan memiliki keyakinan, akal, perasaaan dan kekuatan moral yang dapat digunakan untuk ‘menyetir’ pergerakan hal-hal yang berkaitan dengan sektor kehutanan. Sebagai orang-orang yang mengekspresikan gerakan langkah yang diperjuangkan, mengoreksi kinerja lembaga-lembaga pemerintah yang belum maksimal namun bukan hanya mengkiritisi tapi ikut serta membantu memaksimalkan pergerakan, serta lantang menyuarakan hak-hak hutan yang merupakan pemberi kehidupan yang belum dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat luas. Memberikan kesadaran moral kepada masyarakat luas bahwa hutan merupakan hal utama dalam perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Kontemplasi Kita Sebagai Kaum Muda Terdidik

Berdasarkan data Kemenristekdikti pada tahun 2017, jumlah mahasiswa di Indonesia telah mencapai lebih dari 5,2 juta orang dimana 15,1% nya adalah mahasiswa vokasi atau politeknik. Meski selalu mengalami kenaikan dari tahun-ketahunnya angka ini masih jauh dari harapan Angka Partisipasi Kasar (APK). Padahal sudah banyak yang dilakukan Kemenristekdikti untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih baik seperti menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga guna memudahkan beasiswa.

Hutan bukan saja menjadi tanggung jawab para rimbawan muda yang bergelar sarjana kehutanan. Banyak atau tidaknya lulusan sarjana kehutanan seharusnya bukanlah hal yang penting untuk kelangsungan kehidupan hutan kita. Yang seharusnya penting dibicarakan adalah bagaimana dari setiap orang mampu memiliki kesadaran penuh bertanggung jawab merawat dan melestarikan satu batang pohon. Ya, setiap orang. Bukan hanya tanggung jawab sarjana kehutanan.

Tidak peduli latar belakang kehidupan, universitas dan jurusanmu atau bahkan mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi sekalipun. Setiap dari kita memiliki tanggung jawab yang sama besar merawat hutan sebagai Ibu kita sendiri.

Menghidupkan yang seharusnya hidup karena dia adalah pemberi kehidupan. Berhenti saling tuding atas siapa yang mempertanggung jawabkan kerusakan hutan yang terjadi. Mulai dari diri sendiri, sekalipun tidak pernah mengenyam pendidikan yang tinggi namun marilah tetap bertindak sebagai orang terdidik yang mengedepankan kebaikan bersama.

Tidak peduli sarjana atau bukan, anggap saja kita semua adalah rimbawan muda yang bertanggung jawab sama atas kelestarian hutan Indonesia masa kini dan masa depan. Karena suka atau tidak, pada kenyataannya kelangsungan kehidupan kita memang membutuhkan hutan.

[/read]