Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), Sang Penguasa Langit Jawa

Kekuasaan dan kebebasan merupakan simbolisme dari satwa yang terbang di atas tanah Jawa ini.

Membelah langit dengan bentangan sayapnya yang elok dan gagah.

Penguasa atas segala yang ada di depan mata tajamnya.

Ya, ia adalah Elang Jawa.

Elang Jawa adalah seekor burung karnivora yang identik dengan lambang negara Indonesia.

Burung ini mendapat predikat sebagai maskot satwa langka di Indonesia.

Elang Jawa (pinterest.com)

Yuk mengenal lebih dekat Elang Jawa, Sang Penguasa Langit Jawa!

1. Klasifikasi dan Ciri-Ciri

Burung merupakan hewan bertulang belakang (vertebrata) yang mempunyai bulu dan sayap. Elang Jawa memiliki nama latin Nisaetus bartelsi. Burung ini termasuk dalam genus Nisaetus dengan spesies N. bartelsi. Elang Jawa termasuk salah satu jenis burung pemangsa endemik Pulau Jawa.

Kerajaan Animalia
Filum Chordata
Kelas Aves
Ordo Accipitriformes
Famili Accipitridae
Genus Nisaetus
Spesies Nisaetus bartelsi

Ciri fisik burung yang berada di Pulau Jawa ini memiliki tubuh berukuran sedang. Burung ini memiliki tinggi kurang lebih 70 cm dengan rentang sayap sebesar 100 cm.

Satwa ini memiliki keunikan pada jambulnya yang menonjol sekitar 2-4 helai dengan panjang sekitar 12 cm. Jambul pada satwa unik ini berwarna hitam dengan ujungnya yang berwarna putih. Hal ini membuat burung ini juga dikenal sebagai Elang Kuncung. Namun pada umumnya, burung ini identik dengan warna cokelat yang dapat dilihat pada bagian punggung dan sayap.

Terdapat warna cokelat gelap dengan motif coretan pada bagian dada dan perut. Pada bagian ekor, satwa ini memiliki warna cokelat dengan motif garis – garis hitam.

Selain warnanya yang khas, satwa ini juga dikenal sebagai burung yang memberi kesan gagah ketika ia mengepakkan sayapnya dengan kuat dan memiliki daya terbang yang tinggi saat menjelajah langit. Bahkan ketika ia berdiam atau bertengger di cabang pohon, kegagahan dan kejantanannya tetap terpancarkan.

2. Habitat dan Penyebaran

Seperti namanya, Elang Jawa hanya dapat ditemukan di Pulau Jawa yaitu pada tipe hutan alam dataran rendah yang merupakan area kekuasaan, tempat beristirahat, dan bersarang burung yang sau ini.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Utami (2002) dalam Sitorus dan Hernowo (2017) yaitu daerah sarang merupakan teritori Elang. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Van Balen (1999) yang mengatakan bahwa karakteristik habitat Elang Jawa berupa dataran rendah dan memiliki keanekaragaman fauna kecil yang melimpah sebagai sumber pakannya.

Menurut penelitian Ridwan et al. (2014), burung ini meletakkan sarang pada pohon saninten (Castanopsis argentea) yang biasanya ditumbuhi banyak liana dan memiliki tinggi 30 meter. Sarang tersebut berada pada ketinggian 16 meter di atas permukaan tanah.

Pohon yang diminati Elang Jawa sebagai sarang biasanya terletak pada ketinggian tempat 1.100 meter di atas permukaan laut dengan topografi kelerengan yang cukup curam, berada di dekat anak sungai, dan memiliki jarak 500 meter dari wilayah terbuka.

Tidak menutup kemungkinan satwa ini juga dapat dijumpai di wilayah hutan primer dan di daerah perbukitan dengan peralihan dataran rendah dan pegunungan. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan satwa ini menyukai jenis hutan hujan tropika.

Namun saat ini, burung ini sulit ditemukan karena aktivitas manusia termasuk di dalamnya perdagangan satwa liar yang semakin padat sehingga menyebabkan berkurangnya habitat dan populasi dari satwa tersebut. Selain itu dampak pemanasan global dan penggunaan pestisida juga menjadi penyebab rusaknya habitat dari satwa ini.

Kita dapat menemukan satwa ini di Gunung Pancar, Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, Papandayan, Patuha dan Gunung Halimun di Jawa Barat.  Untuk di Jawa Tengah satwa ini terdapat di Gunung Slamet, Gunung Ungaran, Gunung Muria, Gunung Lawu, dan Gunung Merapi.

Sedangkan untuk di Jawa Timur satwa ini terdapat di Merubetiri, Baluran, Alas Purwo, Taman Nasional Bromo – Tengger – Semeru dan Wilis.

[read more]

3. Cara Hidup dan Reproduksi

Elang Jawa biasanya berburu untuk mendapatkan mangsanya dengan memanfaatkan pengelihatan tajam dan kepekaan tinggi yang dapat mempermudah satwa ini dalam mencari mangsanya. Satwa ini biasanya bertengger di pohon – pohon tinggi untuk mengintai mangsanya.  Ia dapat memangsa dengan cepat bahkan sebelum mangsanya sempat melarikan diri.

Seperti dijelaskan di atas bahwa satwa ini termasuk ke dalam kelompok karnivora yaitu pemakan daging, maka mangsanya terdiri dari beberapa jenis reptil, burung, tupai sampai ayam kampung. Elang ini memiliki cengkraman yang kuat sehingga ia mampu mengambil dan mencabik mangsanya dengan kedua kakinya.

Musim kawin Elang Jawa sepanjang tahun dengan periode Februari hingga Mei dengan rata – rata selang kawin dua tahun sekali. Satwa ini termasuk burung yang melakukan monogami yaitu setia pada pasangan hingga salah satu pasangannya mati.

Umumnya satwa ini bereproduksi dengan cara bertelur dengan setiap periodenya antara bulan Januari hingga Juni hanya dapat memproduksi 2 jumlah telur. Uniknya jika telur menetas adalah anak betina maka saudaranya akan membunuh saudara yang lebih muda dan induknya pun membiarkan hal ini terjadi. Biasanya ukuran bayi betina lebih kecil daripada ukuran bayi jantan.

Induk membuat sarang dari daun dan ranting yang disusun tinggi untuk meletakkan telurnya. Sarang tersebut berada pada ketinggian 20 – 30 meter di atas permukaan tanah.

Penetasan telur yang dihasilkan dari induk diinkubasi selama kurang lebih 47 hari. Anak elang akan tetap tinggal di sarang setelah menetas. Induk elang akan bekerjasama merawat dan menjaga anaknya secara bergilir.

Ketika anak elang mencapai umur 10 minggu, anakan elang sudah memiliki bulu yang lengkap dan kemampuan untuk terbang. Ia akan meninggalkan sarangnya ketika berumur 100 hari namun akan kembali ke sarangnya.

4. Tingkat Kepunahan Elang Jawa

Populasi Elang Jawa saat ini hanya tertinggal antara 300 sampai 500 ekor. Keberadaan burung pemangsa sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem karena posisinya sebagai pemangsa puncak atau urutan teratas dalam rantai dan piramida makanan.

Jika urutan teratas dalam rantai makanan terganggu, akan terganggu pula rantai makanan tersebut secara langsung maupun tidak langsung.

Elang Jawa Sudah Terancam Punah (pinterest.com)

Satwa jenis ini termasuk ke dalam prioritas konservasi yang tertera dalam Permenhut No 57 Tahun 2008 dan Keputusan Dirjen PHKA No 132 Tahun 2011 dan No 109 Tahun 2012 yang mengatakan bahwa satwa ini masuk ke dalam 14 spesies prioritas utama.

Kategori kelangkaan spesies Elang Jawa ini masuk ke dalam daftar satwa endangered situs IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) redlist 2015. Namun, berdasarkan CITES (Conservation on International Trade in Endangered) masih termasuk ke dalam Apendix I. Hal ini disebabkan oleh hutan rusak yang merupakan habitat asli dan adanya perburuan telur yang kemudian diperdagangkan liar.

Ada beberapa organisasi yang concern atau peduli terhadap Elang Jawa yaitu RAIN (Raptor Indonesia) yaitu sebuah jaringan riset dan konservasi burung pemangsa elang di Indonesia yang sebelumnya bernama Kelompok Kerja Pelestari Elang Jawa (KPPEJ), Raptor Conservation Society yaitu pengembangan masyarakat untuk perlindungan Elang Jawa dan Elang lainnya di Jawa Barat, dan Suaka Elang yaitu tempat rehabilitasi , release dan sanctuary sebagai bentuk public awareness masyarakat sekitar.

5. Fakta Unik Elang Jawa

Elang Jawa memiliki keunikan tersendiri. Salah satunya menjadi lambang negara Republik Indonesia yaitu garuda. Satwa ini cukup dikenal sebagai maskot satwa langka di Indonesia sebab keberadaannya yang jarang untuk ditemukan. Makna dari garuda pancasila dikenal dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda – beda tetapi tetap satu jua.

Menurut beberapa pakar Elang Jawa menjadi Garuda Pancasila karena jambul yang dimiliki satwa ini begitu unik untuk melambangkan negara Indonesia yang mempunyai keberagaman dalam budaya. Hal ini juga didukung dengan pendapat MacKinnon dalam bukunya yaitu jambul Elang Jawa berwarna hitam dengan ujung putih mendapat perhatian khusus dari para penikmatnya maupun yang bukan.

Satwa ini juga dikenal sebagai satwa monogami, yaitu setia pada satu pasangan. Dilihat dari kesetiaannya dalam mengurus anakan ketika telah menetas di sarang. Induk satwa ini akan berkoordinasi dengan baik dalam mengurus anaknya contohnya mereka akan bergantian mencari makan dan menjaga anak – anaknya di sarang. Induk betina biasanya memproduksi satu sampai dua telur dalam satu periode dengan periode produksi berkisar antara Januari hingga Juni.

Telur yang dihasilkan akan diinkubasi selama kurang lebih 47 hari lamanya. Uniknya jika yang terlahir lebih dulu bayi elang betina maka akan dibunuh oleh saudaranya. Hal ini dibiarkan begitu saja oleh sang induk sebab sudah menjadi kebiasaan dalam siklus hidup satwa yang satu ini.

Saat ini Elang Jawa cukup jarang ditemukan terbang bebas di atas langit. Selain terbangnya yang begitu cepat dan ia hanya terbang untuk mencari makan. Biasanya ia akan bertengger di suatu dahan atau ranting untuk mencari mangsanya, selebihnya ia akan menghabiskan waktunya di sarang.

Mata Tajam dan Jambul Elang jawa (pinterest.com)

Ada pula faktor alam yang menyebabkan Elang Jawa sulit dilihat terbang di langit yaitu populasi yang semakin sedikit dan habitat satwa ini yang semakin hari semakin berkurang. Namun tidak menutup kemungkinan kita dapat melihat satwa ini terbang di langit.

Faktor cuaca juga mendukung dalam melihat satwa ini terbang. Elang Jawa juga mendapat predikat sebagai Raja Predator Langit Jawa. Bagaimana tidak kegagahannya dalam mengepakkan sayap dan mencari mangsa sangat cocok untuk label tersebut.

Cara terbang Elang Jawa tergolong unik, ia akan membulatkan sayapnya kemudian menekuknya ke atas seperti huruf (V) dengan garis-garis hitam yang terdapat di bagian pinggir sayapnya.

Elang Jawa atau biasa dikenal sebagai burung pemangsa perlu dijaga kelestariannya. Semakin lama populasinya semakin berkurang akibat ulah manusia. Sebagai generasi milenial sekaligus penerus generasi bangsa, haruslah kita jaga habitat hutan primer dimana Elang Jawa sangat bergantung pada hal tersebut untuk keberlangsungan hidup dan berkembang biaknya.

Konservasi satwa endemik seperti Elang Jawa seharusnya mendapatkan perhatian khusus baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Selain itu, dikarenakan harga jual satwa ini terbilang mahal maka perlunya upaya juga dari pemerintah untuk menjaga habitatnya dari perburuan liar yang akan memperjual belikan telur Elang Jawa secara bebas di pasaran. Salah satunya adalah dengan mengembangkan program pengembangbiakan Elang Jawa dan habitat aslinya. Namun keduanya harus selaras karena jika tidak tujuan untuk menjaga kelestarian terkesan percuma.

Hal ini tidak hanya untuk Elang Jawa tapi juga berlaku untuk satwa yang memiliki status critically endangered (kritis), endangered (terancam) dan juga kategori status keterancaman yang lain.

Ayo lestarikan hutan kita karena satwa juga berhak hidup!

 

Referensi
Ridwan I, At M, Rusli AR. 2014. Pemanfaatan ekologi sarang elang jawa (Spizaetus bartelsi) di wilayah Hutan Cikaniki Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal Nusa Sylva Volume. 14 (2) : 43 – 46.

Utami BD. 2002. Kajian potensi pakan elang jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann 1924) di Gunung Salak [skripsi]. Bogor (ID) : IPB
VanBalen SV. 1999. Distribution and Conservation of Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi. Bird Conservation International. 9 (1) : 333 – 349.

Editor:
Mega Dinda Larasati

[/read]