Berangkat dari sebuah petak kamar kecil di tengah hingar bingar pembangunan Pulau Jawa, tangan-tangan kecil ini mencoba bercerita tentang sebuah desa bernama Pajam yang berada di wilayah kabupaten Wakatobi, kecamatan Kaledupa Selatan. Desa Pajam terletak di bentang perbukitan pesisir pantai yang terbentuk dari batuan kapur, sehingga air menjadi salah satu kebutuhan utama yang sulit bagi masyarakat.
Nama Pajam sendiri diambil dari gabungan antara dua dari tiga dusun di desa Pajam, yaitu Palea dan Jamaraka serta menyisakan Sampalu sebagai dusun ketiga. Wilayah desa Pajam merupakan titik tertinggi di Pulau Kaledupa dan dulunya termasuk ke dalam kawasan Kerajaan Buton yang meninggalkan warisan berupa Benteng Palea dan budaya tenun terbaik se-Kaledupa.
Perjalanan menuju Pajam dari kabupaten Kendari dapat ditempuh menggunakan jalur udara dengan tujuan Wangi-Wangi yang merupakan salah satu wilayah dari Wakatobi (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko). Setelah dari Wangi-Wangi, perjalanan hanya dapat dilanjutkan melalui jalur laut menuju pelabuhan Ambeua. Tidak berhenti di sini, perjalanan menuju Pajam masih harus ditempuh dengan menggunakan jalur darat menuju kecamatan Kaledupa Selatan hingga kemudian tiba di wilayah desa Pajam.
Kondisi jalan berkapur yang tidak beraspal menjadi salah satu pemandangan yang cukup lumrah di sini, padahal desa Pajam merupakan salah satu desa tertua di Kaledupa. Tidak seperti wilayah yang lain di Wakatobi, desa Pajam tidak menyajikan pemandangan hamparan pasir pantai dan birunya air laut, melainkan daya tarik budaya berupa bangunan benteng peninggalan Kerajaan Buton dan proses penenunan kain khas dari desa Pajam.
Sebagian besar penduduk desa Pajam merupakan masyarakat asli yang sudah ada sejak dulu dari zaman Kerajaan Buton. Akan tetapi, di sana juga terdapat banyak masyarakat pendatang dari wilayah luar Kaledupa seperti Ambon yang berbondong-bondong pindah menuju ke wilayah Barat karena peristiwa kerusuhan yang dulu terjadi. Selain itu, terdapat pula masyarakat yang merupakan perpaduan antara orang-orang Ambon dengan masyarakat asli desa Pajam, sehingga membuat hampir sebagian masyarakat memiliki suara yang merdu karena orang Ambon terkenal akan suaranya yang merdu.
Masyarakat desa Pajam sebagian besar menggantungkan hidupnya dari ranah pertanian dan perkebunan karena wilayahnya yang terbilang cukup jauh dari laut dan membutuhkan waktu tempuh selama 20 menit untuk menuju ke laut. Namun harga ikan sangat murah di sini dan makanan utama masyarakat Pajam adalah segala jenis ikan dari laut.
[read more]
Sebagian besar pemuda Pajam yang sudah dewasa memilih untuk merantau ke Ambon ataupun Kendari untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan keberlangsungan pembangunan di desa Pajam. Jalanan yang tidak kunjung diperbaiki dan air yang bahkan harus dibeli oleh masyarakat dalam bentuk tong/galon untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menunjukkan terlambatnya pembangunan infrastruktur di desa Pajam, padahal secara potensi wisata, desa Pajam mampu menyajikan hal yang berbeda dari kebanyakan wisata di wilayah Wakatobi yang lebih terkenal akan keindahan surga bawah lautnya.
Kunjungan kami ke desa Pajam berawal dari program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang merupakan agenda wajib bagi mahasiswa sebagai salah satu syarat kelulusan. Pertemuan kami dengan desa Pajam terjadi secara tidak sengaja karena wilayah KKN yang kami pilih pada awalnya adalah Wangi-Wangi, tetapi keinginan kami ditolak oleh Badan Pendanaan Kampus, dan tim kami terlempar untuk mengabdi di wilayah Kaledupa yang dinilai lebih membutuhkan. Kaledupa sendiri terbagi menjadi 2, yaitu Kaledupa Induk dan Kaledupa Selatan, desa Pajam sendiri merupakan bagian dari wilayah Kaledupa Selatan. Dari sinilah langkah awal kami untuk melantangkan harapan dari penghujung Kaledupa dimulai.
Sebagai sebuah desa di pelosok Sulawesi Tenggara, Pajam hanya memiliki satu bangunan sekolah dasar dan satu bangunan sekolah menengah pertama, sehingga jarak menjadi penghalang bagi anak-anak Pajam yang ingin menempuh jenjang SMA. Kondisi sekolah di Desa Pajam terbilang baik, hanya saja minim fasilitas praktik untuk menunjang kemampuan anak-anak dalam menyerap ilmu. Oleh karena itu, proses berbagi ilmu yang kami lakukan kepada anak-anak desa Pajam lebih mengutamakan pendekatan praktik melalui pembuatan alat-alat peraga dan penayangan video. Selain lebih mudah untuk dipahami, cara seperti ini membuat mereka lebih bersemangat belajar karena hal tersebut jarang mereka temui. Ketertarikan mereka dalam melihat suatu hal yang baru kami pandang sebagai secercah harapan akan Desa Pajam di masa depan.
Desa Pajam yang merupakan wilayah dengan warisan budaya tenun terbesar se-Kaledupa saat ini sudah memiliki Pusat Kerajinan Tenun yang dibangun oleh pemerintah setempat sebagai upaya pelestarian kain tenun khas Pajam, karena seiring berkembangnya zaman para penenun di desa Pajam semakin berkurang. Dari sinilah kami melihat bahwa diperlukan upaya untuk mengenalkan budaya tenun-menenun dari Pajam kepada masyarakat yang lebih luas, sehingga kami merancang sebuah acara yang bertajuk “Festival Tenun Pajam”. Kami mengundang berbagai pihak mulai dari masyarakat hingga pemerintah daerah untuk turut hadir dan berpartisipasi. Hasilnya tidak mengecewakan, bahkan acara yang kami mulai di waktu siang hari, baru bisa benar-benar berakhir di malam hari karena tingginya antusias dari masyarakat. Harapan kami, melalui acara-acara seperti ini masyarakat mampu menyadari pentingnya upaya pelestarian budaya tenun yang secara turun-temurun diwariskan oleh orang-orang Pajam terdahulu.
Tidak hanya dari masyarakat, dari acara ini kami berharap pemerintah daerah dapat memberikan perhatian yang lebih dan membuka peluang bagi para investor untuk membangun dan mengenalkan budaya tenun khas Pajam. Sebagai sebuah daerah yang termasuk kedalam wilayah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal), tentunya hal ini akan menjadi sebuah tantangan yang besar. Namun, hal tersebut bukan tidak mungkin untuk dilakukan.
KORINDO menjadi salah satu contoh sukses dalam membangun jaringan investasi di daerah 3T yang minim fasilitas seperti Boven Digoel dan Merauke, Papua. Melalui tajuk “Bangun perbatasan jadi terasnya Indonesia”, KORINDO hadir membawa harapan bagi pembangunan Desa Pajam ke depan. KORINDO mampu memberikan pemahaman bahwa wilayah perbatasan dan seluruh wilayah 3T adalah sebuah teras atau beranda bagi kita untuk menyambut tamu yang entah datang dari negeri seberang ataupun dari negeri sendiri. Ia dipandang bukan lagi menjadi sebuah dapur yang secara terus menerus dimasak sumberdayanya untuk kemudian disajikan kepada para pelaku usaha di ibu kota, melainkan disajikan untuk masyarakat asli di sekitarnya.
Desa Pajam yang terletak jauh di pelosok Sulawesi memang menyimpan berbagai potensi besar yang belum dikelola dengan baik. Pengabdian yang kami laksanakan selama hampir 2 bulan merupakan salah satu upaya kecil dalam membangun Pajam, dan akan menjadi kenangan yang akan terus menjadi semangat kami menuju pengabdian selanjutnya. Berbagai tantangan yang kami dapati, mulai dari kekurangan air, kesusahan memasak nasi karena kompor yang tersedia hanya kompor minyak, program yang tidak terlaksana secara optimal karena tidak hadirnya masyarakat dan banyak lainnya merupakan tembok yang secara perlahan harus kami panjat untuk menuju pintu yang nantinya akan mengantarkan kami dan masyarakat Pajam berkembang menjadi lebih baik lagi.
Dari Pajam kami belajar, bahwa memberikan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik dapat dilakukan melalui langkah kecil. Kita yang lahir dari lingkungan nyaman dengan berbagai fasilitas yang ada tentunya tidak perlu dipersulit oleh padamnya listrik ketika ingin belajar, jauhnya jarak sekolah yang harus kita tempuh, dan minimnya fasilitas yang kita miliki. Oleh karena itulah, kita harus bisa berbuat untuk Indonesia sekecil apapun dan bagaimanapun itu, entah melalui tulisan, entah melalui pengabdian, atau melalui hal-hal lain yang dapat menjadi celah kita dalam membangun pondasi bagi kemajuan Indonesia di masa depan.
[/read]