Yuk, Mengenal Kawasan Konservasi di Daerah Istimewa Yogyakarta!

Yogyakarta dikenal sebagai provinsi yang istimewa. Istimewa karena kebudayaannya, orangnya, kulinernya, wisatanya, dan semua sisi kehidupannya. Masyarakat mengenal Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota pelajar. Namun ada satu hal yang menarik dari Yogyakarta, yaitu mengenai kawasan konservasi yang relatif lengkap.

Yogyakarta memiliki luas 318.680 Ha yang terdiri dari luas kawasan hutan negara 18.715, 06 Ha yang terbagi menjadi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Kawasan hutan tersebut terbagi atas Hutan Konservasi seluas 2.990,56 Ha (15,98%), Hutan Lindung 2.312,80 Ha (12,36%) dan Hutan Produksi 13.411,70 Ha (71,66%).

Sedangkan berdasarkan sebaran administratif pemerintahan, Kabupaten Gunung Kidul memiliki kawasan hutan terluas yaitu 14.895,50 ha (79,59%), kemudian pada urutan kedua adalah Kabupaten Sleman seluas 1.729,46 ha (9,24%), Kabupaten Bantul seluas 1.052, 60 ha (5,625), dan Kabupaten Kulon Progo seluas 1.037,50 ha (5,54%).

Provinsi DIY mempunyai ekosistem yang lengkap mulai dari ekosistem hutan pegunungan, ekosistem hutan dataran rendah, dan vegetasi pantai serta mangrove. Selain itu, DIY mempunyai satu kesatuan ekologis karst yang unik yaitu Geopark Gunungsewu.

Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati di Provinsi DIY sangat besar yang berupa keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman flora dan fauna, dan keanekaragaman sumberdaya genetik. Keanekaragaman hayati di berbagai ekosistem tersebut harus terus dijaga agar tetap lestari dan mampu mewujudkan keseimbangan dalam kegiatan pembangunan.

Konservasi sumber daya alam hayati merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pengukuhan kawasan konservasi oleh pemerintah di Indonesia merupakan upaya konservasi sumber daya alam hayati yang dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990, kawasan konservasi dibedakan menjadi:

  1. Kawasan Suaka Alam
  2. Kawasan Cagar Alam (dikelola oleh Balai KSDA/ Balai Besar KSDA)
  3. Kawasan Suaka Margasatwa (dikelola oleh Balai KSDA/Balai Besar KSDA)
  4. Kawasan Pelestarian Alam
  5. Kawasan Taman Nasional (dikelola oleh Balai Taman Nasional/Balai Besar Taman Nasional)
  6. Kawasan Taman Hutan Raya (dikelola oleh Dinas Kehutanan)
  7. Kawasan Taman Wisata Alam (dikelola oleh Balai KSDA/Balai Besar KSDA)

Kawasan konservasi yang ada di DIY antara lain: Cagar Alam (CA) Imogiri, Cagar Alam (CA)/ Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Gamping, Suaka Margasatwa Paliyan, Suaka Margasatwa Sermo, Taman Nasional Gunung Merapi, dan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder.

1. Cagar Alam Imogiri

Teater Musik di Hutan Pinus Imogiri

Cagar Alam Imogiri terletak dalam petak Pasarehan/ BDH Kodya (Komplek Pasarehan Raja-Raja Mataram) yang dulunya merupakan wilayah pangkuan hutan produksi dari Dinas Kehutanan Provinsi DIY. CA Imogiri ditunjuk melalui SK Menhut No. 171/Kpts-II/2000 Tanggal 29 Juni 2000 dengan luas kawasan Cagar Alam Imogiri setelah dilakukan kegiatan rekonstruksi batas kawasan adalah 11,4 ha. Topografi kawasan berupa perbukitan dengan kelerengan sedang.

Beberapa hal yang membuat kawasan ini memiliki nilai penting adalah kawasan ini merupakan daerah wisata sekaligus tempat yang memiliki nilai budaya yang “dikeramatkan” oleh penduduk sekitar dan masyarakat Yogyakarta. Kawasan ini merupakan kawasan pelindung dan penyangga bagi kehidupan masyarakat sekitar dan merupakan “pagar hidup” dari keberadaan kompleks makam Raja-Raja Mataram Islam.

[read more]

Potensi flora dan fauna di CA Imogiri:

1. Flora

Jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), akasia, kayu putih (Melaleuca leucadendron), sono keling (Dalbergia latifolia), secang (Caesalpinia boducella), kayu manis (Cinnamomum zeylanicum), mindi (Melia azedarach), pulai (Alstonia scholaris), serut (Streblus asper), kepuh (Sterculia foetida), duwet (Syzigium cumini), dan pinus (Pinus merkusii).

2. Fauna

Jenis satwa yang dapat ditemui di kawasan ini di antaranya adalah dari famili aves (burung), mamalia, reptil, dan insekta. Kelimpahan masing-masing famili termasuk dalam kategori jarang sampai sedang, populasi terbanyak adalah dari famili aves dan insekta.

Jenis Aves tercatat 39 jenis (sumber BKSDA tahu 2009) di antaranya: cekakak sungai (Thodirhampus chloris), tekukur biasa (Streptopelia chinensis), burung cabe (Dicalum trochileum), gagak (Corvus enca), elang bido (Spilornis cheela), sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus), bubut hutan (Centropus rectunguis), layang-layang (Nectaria jugularis), Srigunting (Dicrurus paradiseus), cekakak jawa (Halcyon cianoventris), terucuk (Pycnonotus goiaver), dan prenjak coklat (Prinia polychroa).

Amphibi yang ada yaitu katak (Rana sp.) Jenis mamalia yaitu bajing (Callosciurus notatus), musang luwak (Paradoxurus hermaphrodites).

2. Cagar Alam/ Taman Wisata Alam Gunung Gamping

Gunung Gamping

Luas: 1,108 Ha
Ditunjuk: SK Menhut No. 171/Kpts-II/1989 Tanggal 29 Juni 1989
Potensi objek wisata alam: Panorama alam Batu Gamping dan wisata budaya Upacara Bekakak

Kawasan yang luas totalnya 1,084 hektar ini berupa situs cagar budaya berupa Gunung Gamping dan area altar persembahan bekakak seluas 0,038 hektar sebagai kawasan cagar alam. Sisanya seluas 1,064 hektar yang berupa petak persawahan dan tanah kering sebagai kawasan TWA.

Gunung Gamping terletak di daerah bekas penambangan batu gamping yang terbentuk pada Zaman Eosin 50 juta tahun yang lalu. Gunung ini terdiri dari satu gundukan batu berwarna putih, putih kemerahan sampai abu-abu. Pada retakannya dijumpai gejala kristalisasi dari mineral kalsit.

Pada batu gamping ini banyak pula dijumpai fosil-fosil binatang laut yang sebagian berupa fragmen. Fosilnya berupa jenis Moluska, Koral, Bryozoa dan Feraminifora. Jenis batuan seperti ini hanya dijumpai di Ciletuh (Jawa Barat), Karangsembung, Jiwo, dan Gamping.

Cagar alam ini memiliki ciri khas sebagai sisa peninggalan batu gamping Zaman Eosin 50 juta tahun yang lalu dan berupa terumbu 40 karang, mengandung kapur (CaCO3) yang berkadar tinggi. Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Gamping sebenarnya hanya berupa petak persawahan dan tanah kering.

Potensi kawasan:

1. Flora

Beringin (Ficus sp.), Gayam (Nocarpus edulis), kepel (Stelecocharpus burahol), mundu (Garcinia dulcis), sawo kecik (Manilkara kauki/M. Achra), sawo bludru, rukem (Flacourtia indica), kemuning (Murraya paniculata), keben (Barringtonia asiatica), pulai (Alstonia scholaris), ketapang (Terminalia catappa), johar (Cassia siamea), wuni, kantil (Michelia champaca), kenanga (Canangium odoratum), kemiri (Aleurites moluccana), dan namnam (Niphelium sp.).

2. Fauna

Aves ± 20 jenis di antaranya: burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), cekakak jawa (Halcyon cianoventris), tekukur biasa (Streptopelia chinensis), merbah cerucuk (Pyconotus goaiver), cinenen pisang (Orthotomus sutoris), wiwik lurik (Cacomantis merulinus), burung hantu (Tyto alba), pijantung kecil (Arachnotera langirostra), cabai jawa (Dicalum trochileum), cipoh kacat (Aegithina tiphia), dan kutilang (Pycnonotus aurigaster).

3. Suaka Margasatwa Paliyan

Suaka Margasatwa Paliyan

Luas: 434,6 Ha
Ditunjuk: SK Menhut No. 171/Kpts-II/2000 Tanggal 29 Juni 2000
Tata batas: rekonstruksi tata batas tahun 2004, pemeliharaan pal batas tahun 2009
Aksesibilitas: Dari arah Kota Yogyakarta melalui Jalan Wonosari, Pertigaan Playen belok kiri sampai ke lokasi Suaka Margasatwa Paliyan, kawasan ini terletak di sebelah selatan Kec. Paliyan Kab. Gunungkidul ± 2 km.

Suaka Margasatwa Paliyan yang memiliki luas total 434,60 Ha berada di wilayah Kecamatan Paliyan dan Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Topografi berupa perbukitan karst dengan lapisan tanah yang tipis, memiliki kelerengan diatas 40% serta pada ketinggian antar 100 – 300 mdpl.

Letak Suaka Margasatwa Paliyan sendiri berada pada petak 136 s/d 141 yang dulunya merupakan wilayah pangkuan hutan produksi dari Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya masuk wilayah RPH Paliyan yang tergabung dalam Bagian Daerah Hutan (BDH).

Sekitar 80% kawasan ini dirambah oleh masyarakat sebagai areal perladangan. Sejak masih berstatus hutan produksi, ± 600 petani penggarap berladang di kawasan ini, mereka berasal Desa Karang Asem dan Desa Karang Duwet yang termasuk wilayah Kecamatan Paliyan. Dua desa lainnya yaitu Jetis dan Kepek yang masuk wilayah Kecamatan Saptosari.

Potensi objek wisata alam: panorama alam Pegunungan Sewu, gua.

Potensi kawasan:

1. Flora

Ada 30 jenis di antaranya: jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), akasia, leda, kayu putih (Melaleuca leucadendron), sono keling (Dalbergia latifolia), popohan (Buchanania arborescens), secang (Caesalpinia boducella), kayu manis (Cinnamomum zeylanicum), kesambi (Schleichera oleosa), mindi (Melia azedarach), pulai (Alstonia scholaris), serut (Streblus asper), dan maja (Phyllantuhus acidus).

2. Fauna

Jenis Aves tercatat ±35 jenis di antaranya: alap-alap macan (Falco severus), burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), cikrak kutub (Phylloscopus borealis), cekakak jawa (Halcyon cianoventris), elang alap cina (Accipiter soloensis), elang ular bido (Spilornis cheela), gelatik batu kelabu (Parus major), tekukur biasa (Streptopelia chinensis), merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier), gelatik jawa (Padda oryza), ayam hutan (Gallus gallus), dan gemak loreng (Turnix suscitator).

Mamalia: monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) dan musang (Paradoxurus hermaphrodites).

Insecta ±20 jenis diantaranya: Odontoponera denticulate, Anoplolepis gracilipes, Catopsilia pomona, Hypolimnas misipus, Eurema hecabe, Melanitis sp.

4. Suaka Margasatwa Sermo

Suaka Margasatwa Sermo

Luas: 181 Ha
Ditunjuk: SK Menhut No. 171/Kpts-II/2000 Tanggal 29 Juni 2000
Tata batas: rekonstruksi tata batas tahun 2004, pemeliharaan pal batas tahun 2009
Aksesibilitas: Jalan kabupaten sampai ke lokasi Suaka Margasatwa Sermo baik dan beraspal.  Jogjakarta-Wates-Hargowilis, dengan jarak sekitar 40 km dan dari Wates-Hargowilis kurang lebih 9 km. Jogjakarta-Pengasih-Hargowilis dengan jarak tempuh dari Jogjakarta-Pengasih kurang lebih 20 km dan Pengasih-Hargowilis kurang lebih 16 km.

Potensi objek wisata alam: panorama alam Gunung Menoreh, Waduk Sermo.

Kawasan hutan Sermo merupakan hutan negara dengan fungsi sebagai hutan produksi yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi DIY pelaksananya Dinas Kehutanan 42 Propinsi DIY.

Kemudian fungsi kawasan hutan hutan dirubah menjadi fungsi lindung (hutan lindung) Kawasan hutan Sermo merupakan hutan tanaman, di mana jenis-jenis vegetasinya ditanam mulai pada tahun empat puluhan hingga tahun sembilan puluhan. Sejak hutan Sermo mempunyai fungsi produksi dan lindung, upaya pengelolaan dan pengamanan terus dilakukan oleh Pemerintah Daerah, utamanya telah dibentuk institusi terendah yaitu Resort Polisi Hutan Sermo, dengan dibangun sarana kerja berupa kantor.

Potensi kawasan :

1. Flora

Ada 35 jenis di antaranya: jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), akasia, kayu putih (Melaluca leucadendron), sono keling (Dalbergia latifolia), secang (Caesalpinia boducella), kesambi (Schleichera oleosa), mindi (Melia azedarach), pulai (Alstonia scholaris), wedusan (Ageratum conyzoides), tapak liman (Elephantopus scaber), sambiloto (Andrographis panculata), putri malu (Mimosa pudica), kerinyu (Eupatorium odoratum), dan telekan (Lantana camara).

2. Fauna

Aves tercatat ± 30 jenis di antaranya: kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis), burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), cikrak kutub (Phylloscopus borealis), cekakak jawa (Halcyon cianoventris), elang ular bido (Spilornis cheela), gelatik batu kelabu (Parus major), tekukur biasa (Streptopelia chinensis), merbah cerucuk (Pyconotus goaiver), ayam hutan (Gallus gallus), gemak loreng (Turnix suscitator), cekakak sungai (Todirhampus chloris), dan pelanduk semak (Malacocicla sepiarium).

Mamalia: monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), musang luwak (Paradoxus hermaphrodites), babi hutan (Sus scrofa), dan garangan (Herpetes javanicus).

Insect: belum teridentifikasi.

5. Taman Nasional Gunung Merapi

Taman Nasional Gunung Merapi

Gunung Merapi merupakan kawasan berupa Taman Nasional yang memiliki ekosistem asli berupa perpaduan antara ekosistem gunung berapi dengan hutan dataran tinggi dan pegunungan. Kawasan ini  dikelola berdasarkan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Kawasan Hutan Gunung Merapi ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Merapi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 pada tanggal 4 Mei 2004 tentang perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada kelompok Hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410 ha, terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten, Provinsi Jawa Tengah serta Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (TNGM, 2009).

Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan salah satu ekosistem pegunungan di Pulau Jawa bagian tengah. Secara administratif kawasan ini terletak di dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengelolaan kawasan Merapi terbagi menjadi beberapa fungsi konservasi sebagai Hutan Lindung, Cagar Alam, dan Taman Wisata Alam.

Pemerintah menggagas perubahan status kawasan menjadi taman nasional pada tahun 2001. Gagasan perubahan ini menimbulkan polemik. Di tengah suasana pro-kontra, pemerintah mengeluarkan SK Menhut No. 134/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas ± 6410 ha yang terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Provinsi DIY menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).

Sebanyak 26 Organisasi non-pemerintah di bidang Lingkungan (Ornop-L) dan Organisasi akar rumput di kawasan Merapi menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap TNGM melalui Aliansi Masyarakat Peduli Merapi (AMPM) dan mendesak agar pemerintah mencabut kembali SK penetapan tersebut dengan alasan mengabaikan partisipasi masyarakat.

Upaya hukum yang ditempuh Walhi gagal. Sidang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta tanggal 24 Januari 2005 dimenangkan oleh pemerintah. Proses persiapan menjadi TNGM selanjutnya terus dilakukan pemerintah. Sementara itu, Ornop-L yang masih kontra TNGM terus melakukan upaya penguatan jaringan. Suasana pro-kontra yang tak berkesudahan ini akan mempengaruhi upaya konservasi di kawasan Merapi. Penetapan kawasan konservasi Merapi menjadi TNGM berarti mengubah perolehan mekanisme akses dan hak terhadap sumberdaya alam di sana. Perubahan inilah yang memicu konflik pro-kontra TNGM.

Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan salah satu ekosistem pegunungan di Pulau Jawa bagian tengah yang mempunyai nilai tinggi bagi kehidupan manusia di sekitar kawasan ini baik dari kajian ekologis, ekonomis, sosial dan budaya. Dari kajian ekologis, komponen biologis ekosistem hutan Gunung Merapi mempunyai keanekaragaman yang tinggi.

Di samping itu, gunung ini telah menciptakan ekosistem yang spesifik yaitu hutan tropika pegunungan dan pola suksesi vegetasi yang berkembang secara dinamis. Dari kajian ekonomis, sumberdaya lama Gunung Merapi telah lama dimanfaatkan masyarakat baik berupa material maupun jasa lingkungan. Material yang dimanfaatkan masyarakat antara lain pasir dan batu, hijauan pakan ternak, dan kayu bakar.

Jasa lingkungan yang dinikmati masyarakat sekitarnya adalah keindahan alam yang dikelola sebagai bisnis pariwisata, tata air yang menyediakan air bersih dan air pertanian sepanjang tahun melalui sejumlah mata air yang berada di kawasan ini, dari kajian sosial budaya, masyarakat di lereng-lereng kawasan hutan Gunung Merapi telah berinteraksi dalam jangka waktu ratusan tahun, interaksi-interaksi tersebut memunculkan beragam budaya hasil dari olah rasa antara manusia dan alam sekitarnya. Interaksi ini telah menciptakan sistem sosial dan budaya yang khas.

6. Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder

Taman Hutan Raya Bunder

Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder yang terletak di Desa Bunder, Kecamatan Playen Gunungkidul merupakan kawasan konservasi dengan ekosistem unik yaitu lokasi yang merupakan pertemuan tiga ekosistem. Ketiga ekosistem tersebut yaitu ekosistem gunung tua purba/ Gunung Nglanggeran (sebelah Utara), ekosistem Pegunungan Seribu Karst (sebelah timur) dan ekosistem/ lembah Wonosari (sebelah selatan).

Ketiga ekosistem ini telah ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menjadi kawasan taman geologi, untuk dikembangkan sebagai Konservasi Paleoekosistem (Anonim, 2015).

Tahura Bunder mempunyai sejarah proses alam yang besar dan menarik untuk dijadikan bahan pelajaran peristiwa ekosistem masa lalu yang perlu diabadikan dan diketahui oleh masyarakat luas. Rencana pengembangan wisata untuk konservasi paleoekosistem kawasan Gunungkidul yaitu dengan mengembangan wisata paleologis (paleological). Paleologi adalah ilmu kepurbakalaan (Tamburello, 1957), sehingga Paleologis mempunyai arti bersifat ilmu-ilmu purbakala atau berkaitan dengan Paleologi.

Wisata Paleologis berkaitan dengan ilmu-ilmu masa lalu yang akan dibangun di Tahura Bunder yaitu atraksi arboretum tanaman karst purba (paleobotani), museum zoologi purba (paleozoologi) dan teater ekosistem purba (paleoekosistem). Apabila hal itu terwujud, Tahura Bunder mempunyai kekhasan dan keistimewaan dengan mengangkat tema paleologis, dan hanya satu-satunya di Indonesia (Anonim, 2015).

Tahura Bunder memiliki beberapa potensi fisik yaitu kondisi topografi, variasi kemiringan lereng, variasi jenis tanah, kondisi suhu, kenampakan geologi, kenampakan hidrologi, ragam fauna terutama jenis burung, ragam flora, aksesibilitas, serta sarana dan prasarana dasar penunjang.

Selain itu, kawasan ini memiliki potensi non fisik berupa berbagai instansi yang dapat dijadikan sebagai lokasi pembelajaran geografi, program Eco-Edu Tourism dari pengelola. Faktor yang menjadi pendukung pengembangan kawasan sebagai laboratorium alam geografi adalah (a) Ketersediaan sumber belajar geografi (b) Program Ecoedu Tourism dari pengelola kawasan Tahura Bunder (c) Panorama alam yang indah (d) Aksesibilitas tinggi (e) Tingkat keamanan tinggi.

Keunikan dan potensi dari kawasan Tahura Bunder ini belum banyak dilirik untuk kegiatan pembelajaran. Kondisi fisik kawasan Tahura Bunder ini menunjang untuk dijadikan kawasan penelitian dan pendidikan. Tahura Bunder memiliki unit persemaian tanaman hutan milik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY terletak di blok 19 RPH Bunder, BDH Playen Kabupaten Gunungkidul, Areal penangkaran satwa berada di blok 22 seluas kurang lebih 6,2 hektar yang berbatasan dengan lokasi persemaian.

Industri yang terdapat di kawasan Tahura Bunder adalah industri pengolahan minyak kayu putih yang terletak pada blok 22E bagian selatan, di mana industri tersebut dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rest Area Bunder yang digunakan sebagai lokasi peristirahatan transportasi dari dan menuju Kota Wonosari (Khairun Nisa, 2007: 112-114).

Kawasan Tahura Bunder mempunyai berbagai jenis hewan dilindungi seperti Burung Madu Sriganti (Nectarinia juularis), Elang Ular Bido (Spizaetus cheela), Elang Alpa Cina (Accipiter soloensis), Raja Udang Meninting (Alcedo meninting), Alap-Alap Sapi (Falco sylvatica), Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis).

Selain enam spesies hewan yang dilindungi ini kawasan Tahura Bunder juga memiliki kurang lebih 37 jenis satwa liar. Kawasan Tahura Bunder juga menyimpan kekayaan spesies tumbuhan, sekitar 39 jenis spesies tumbuhan teridentifikasi ada dalam kawasan Tahura Bunder, contohnya adalah Kayu Putih (Melaleuca leucadendron), Jati (Tectona grandis), Kemiri (Aleurites moluccensis), Cemara (Casuarina equisetifolia), Akasia (Accacia auriculiformis), Mahoni (Swietina macrophyta) dan lain-lain (BKSDA DIY: 2007).

7. Ekosistem

7.1 Kabupaten Bantul

Lokasi: Pantai Selatan

Tipe ekosistem: ekosistem pantai

Keunikan: tempat pendaratan penyu dan gumuk pasir

7.2 Kabupaten Sleman

Lokasi: Dusun Ketingan, Kelurahan Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Komplek Candi Prambanan

Tipe ekosistem: ekosistem daratan

Keunikan: habitat burung kuntul (Bulbucus ibis) dan menjadi daerah wisata fauna, habitat gelatik jawa di komplek Candi Prambanan

7.3 Kabupaten Kulonprogo

Lokasi: Pantai Sungapan, muara Sungai Progo

Tipe ekosistem: ekosistem pantai

Keunikan: habitat burung migran, pendaratan penyu

7.4 Kabupaten Gunungkidul

Lokasi: Pegunungan Sewu, Kawasan Karst, Pantai Selatan

Tipe ekosistem: ekosistem karst, ekosistem pantai

Keunikan: kawasan karst, pendaratan penyu, hutan adat Wonosadi

 

Referensi:

Balai Konservasi Sumberdaya Alam Yogyakarta. 2010. Kawasan Konservasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: BKSDA Yogyakarta.

KPH Yogyakarta. 20. Pembelajaran KPH Yogyakarta. http://kph.menlhk.go.id/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=70&Itemid=196

Muldalyanto. 2013. Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi AB (Afgeschreven djati-Bosch) di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Amalia, R. 2017. Peran Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dalam Pelestarian Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Retnowati, D. 2016. Potensi Pasar Wisata Paleologis di Tahura Bunder Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Kuswijayanti, E.R., Dharmawan, A.H., dan Kartodihardjo, H. 2011. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi: Analisis Ekologi Politik. JPSL 1(1): 23—30.

Kuswijayanti, Elisabet Repelita, 2007. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi: Analisis Ekologi Politik. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Darmawan, Nugroho Sigit. 2015. Karakteristik Habitat dan Pola Sebaran Anggrung (Trema orientalis) Pasca Erupsi 2010 di Resort Cangkringan Taman Nasional Gunung Merapi. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Sulistyo, Thomas Danar. 2014. Potensi dan Upaya Pengembangan Kawasan Taman Hutan Raya Bunder Kabupaten Gunungkidul sebagai Laboratorium Alam Geografi. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Rakhmawati, Ulie. Rencana Kerja Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat dengan Kampanye Pride. Sleman: Yayasan Kanopi Indonesia.

 

Editor: Mega Dinda Larasati

[/read]