Wacana Pembayaran Jasa Lingkungan di Kota Depok

Pembayaran atas jasa lingkungan di Kota Depok bisa jadi bukan hanya wacana belaka. Dengan sistem insentif dan disinsentif yang jelas, masyarakat mau mengikuti program pembayaran jasa lingkungan. Saat ini, pemerintah daerahlah yang menentukan apakah program ini akan dilaksanakan atau tidak.

Kota Depok merupakan kota di Jawa Barat yang berkembang signifikan. Tahun 2010 Kota Depok dihuni oleh 1 736 565 jiwa sedangkan pada tahun 2016 jumlah penduduk menjadi 2 106 100 jiwa atau naik sebanyak 85% (BPS Kota Depok 2016). Peningkatan jumlah penduduk ini berimplikasi pada penggunaan lahan terbangun yang diperuntukkan sebagai lahan permukiman serta sarana aktivitas perekonomian masyarakat kota. Hal tersebut juga akan berpengaruh pada ketersediaan RTH (Ruang Terbuka Hijau) di Kota Depok yang juga akan mempengaruhi kualitas jasa lingkungannya. Sifat jasa lingkungan yang intangible menyebabkan sulitnya melihat ukuran tingkat kepentingan suatu jasa lingkungan.

Polusi di Kota Bekasi

Ekonomi Lingkungan di Kota Depok

Valuasi jasa lingkungan di Kota Depok dilakukan menggunakan metode kontingensi atau metode nilai keberadaan, dengan melihat kuantitas tutupan lahan dan jasa lingkungan yang dihasilkan yaitu penghasil oksigen, pengendali longsor, dan tempat keanekaragaman burung. Penghitungan nilai ekonomi nya dilakukan dengan cara menanyakan kesediaan membayar jasa lingkungan penduduk Kota Depok. Penelitian tersebut mendapatkan nilai rata-rata WTP (Willingness to Pay) sebesar Rp25 509 dengan total kesediaan membayar dari tiga jasa lingkungan setiap tahunnya sebesar Rp40 877 695 059 dalam jangka waktu pembayaran 20 tahun.

Total nilai kesediaan membayar pada penelitian tersebut jika dibandingkan dengan anggaran belanja Badan Lingkungan Hidup Kota Depok tahun 2013 yang menaungi bidang konservasi dan peningkatan kualitas lingkungan hidup senilai Rp7 500 645 416 (Pemkot Depok 2013) hal tersebut berarti pendapatan dari hasil retribusi jasa lingkungan senilai 5 kali lebih besar dibandingkan dengan dana yang dianggarkan pada dinas tersebut. Jika dibandingkan dengan Anggaran Dinas Kebersihan dan Pertamanan sebesar Rp82 230 283 579 (Pemkot Depok 2013) nilai total kesediaan membayar ini dapat mendukung 49.7% pendanaan pada dinas tersebut.

Pajak dan retribusi Daerah Kota Depok di Tahun 2015 menyumbang sebesar Rp571 074 207 690 (BPS Kota Depok 2016) sedangkan di Tahun 2011 pajak dan retribusi menyumbang Rp177 249 368 520 (BPS Kota Depok 2011). Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari peningkatan pajak dan retribusi dalam kurun waktu tersebut sebesar 322%. Jika nilai total kesediaan membayar dalam penelitian ini diasumsikan sebagai pendapatan yang berasal dari pajak dan retribusi, maka pajak dan retribusi daerah di Kota Depok akan mengalami peningkatan 7.15% dilihat dari pendapatan dari pajak dan retribusi di tahun 2015.

[read more]

Penelitian Sriani (2012) mengenai mekanisme PJL (Pembayaran Jasa Lingkungan) sumberdaya air di Lombok Barat dan Kota Mataram menerangkan bahwa pada mulanya konsep pembayaran jasa lingkungan di daerah tersebut bersifat sukarela dan tidak terikat dengan hukum tertentu. Namun seiring berkembangnya waktu dan kebijakan yang baru maka di tahun 2007 Pemerintah Daerah Lombok mengeluarkan dasar perundangan bagi skema PJL yaitu Perda Kabupaten Lombok Barat No. 4 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan.

Implementasi PJL di Kota Depok juga dapat dilakukan dengan mengadopsi mekanisme yang telah diaplikasikann oleh pemerintah daerah lainnya. Penerapan PJL di Kota Depok pada dasarnya sudah memiliki landasan hukum yaitu, Perda Kota Depok No. 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Pembayaran pajak pada penggunaan air tanah dalam perda tersebut menitik beratkan pada pemanfaatan secara komersial yang nantinya akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal tersebut merupakan bentuk represif dari kegiatan konservasi yang bersifat penanggulangan. Pembayaran jasa lingkungan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup suatu kota merupakan tindakan preventif yang juga memiliki urgensi yang tinggi.

Perda Kota Depok No. 03 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup penyusunan RPPLH memperhatikan sebaran penduduk, potensi sumberdaya alam serta aspirasi masyarakat. Nilai kesediaan membayar penduduk dalam hal ini dapat dijadikan salah satu bentuk aspirasi masyarakat terhadap peningkatan jasa lingkungan di Kota Depok. Keuntungan dari diterapkannya sistem PJL ini nantinya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta secara spesifik dapat dimanfaatkan langsung untuk pendanaan peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui pengadaan aset dan infrastruktur daerah seperti jalur hijau, taman-taman kota, koridor hijau sempadan sungai, serta secara langsung memberikan penyadartahuan masyarakat tentang nilai ekonomi jasa lingkungan dengan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif.

 

Referensi:

Dokumentasi penulis

[/read]