Tsunami: Pengertian, Jenis, Dampak, dan Mitigasi

Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang sangat ditakuti di Indonesia. Pada saat 2004 silam saja, bencana alam ini merenggut ratusan ribu jiwa warga Aceh. Bahkan, masyarakat sekitar pantai apabila merasakan gempa yang cukup besar akan melakukan evakuasi diri menuju tempat yang lebih tinggi karena khawatir akan terjadi bencana tsunami.

Salah satu bencana geologi ini sering terjadi di negara-negara yang termasuk ke dalam daerah ring of fire. Daerah ring of fire ini sangat rentan terjadi gempa vulkanik maupun tektonik sehingga sangat berpotensi juga untuk terjadi tsunami andaikata pusat gempa berada di lautan. Negara-negara yang rawan terkena bencana ini di antaranya adalah Indonesia, Jepang, Filipina, Papua Nugini, India, Bangladesh, Maladewa, dan Australia.

Dampak Terjangan Gelombang Bencana Tsunami

1. Pengertian Tsunami

Istilah tsunami merupakan adopsi dari bahasa Jepang. Tsunami menurut Beni (2006), adalah istilah yang berasal dari bahasa Jepang yang sekarang sudah menjadi istilah yang biasa dipakai di seluruh penjuru dunia.

Tsunami berasal dari kata tsu yang berarti pelabuhan dan nami memiliki arti ombak. Masyarakat Jepang biasanya setelah terjadi bencana tsunami akan pergi ke pelabuhan untuk melihat seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan, sehingga dipakailah istilah tsunami (Sutowijoyo 2005).

Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Tsunami adalah gelombang besar yang dihasilkan oleh gempa bumi di dasar samudera, letusan gunung api, atau longsoran masa batuan di sekitar basin samudera (Djunire 2009).

Simandjuntak (1994) mengartikan tsunami sebagai salah satu kejadian alam yang dicirikan oleh terjadinya pasang naik yang besar secara medadak yang biasanya terjadi sesaat setelah terjadi goncangan gempa bumi tektonik. Gelombang yang dihasilkan oleh bencana alam ini dapat menghancurkan daerah pemukiman yang berada di dekat pantai.

Berdasarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) (2006), tsunami adalah gelombang laut yang mampu menjalar dengan kecepatan tinggi hingga lebih dari 900 km/jam, gelombang ini disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi di dasar laut.

Tsunami sendiri sangat berkaitan dengan perubahan bentuk dasar laut dengan cepat karena adanya faktor-faktor geologi, seperti letusan gunung berapi ataupun gempa bumi (Sudrajat 1994).

[read more]

2. Karakteristik

Karakteristik umum dari tsunami pada dasarnya berbeda dengan karakteristik ombak pada biasanya. Ombak merupakan gelombang air yang dihasilkan dari tiupan angin, sedangkan tsunami merupakan gelombang yang dibentuk akibat adanya kegiatan geologi bumi. Tsunami merupakan gelombang yang dapat mencapai panjang gelombang lebih dari 150 km, serta memiliki kecepatan gelombang seperti pesawat jet, yaitu sekitar 800 km/jam (King 1972). Menurut PVMBG (2006), kecepatan gelombang tsunami bergantung pada kedalaman laut.

Tsunami memiliki panjang gelombang antara dua puncaknya lebih dari 100 km di laut lepas dan selisih waktu antara kedua puncak tersebut diperkirakan antara 10 menit sampai 1 jam. Pada saat mencapai pantai yang dangkal, teluk, atau muara sungai, gelombang ini kemudian akan menurun kecepatannya, namun tinggi gelombang akan meningkat sehingga sangat bersifat merusak benda-benda yang berada di sekitar pantai.

Berikut adalah tabel yang menerangkan tentang hubungan antara kedalaman gempa, kecepatan gelombang, dan panjang gelombang tsunami (PVBMG 2006):

Kedalaman (meter) Kecepatan (km/jam) Panjang Gelombang (km)
7 000 942.9 282
4 000 712.7 213
2 000 504.2 151
200 159.0 47.7
50 79.0 23.0
10 35.6 10.6

 

Pada laut dalam, tsunami akan bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, yaitu 500 sampai dengan 1000 km/jam. Siklus terjadinya gelombang kembali berkisar antara hitungan menit sampai satu jam. Saat mendekati pantai gelombang akan melambat dan ketinggian gelombang akan meninggi.

Tinggi gelombang ini dapat berubah karena adanya konversi energi dari bentuk energi kinetik menjadi energi potensial. Berkurangnya kecepatan gelombang yang artinya ada perpindahan energi menjadi energi potensial yang menyebabkan bertambah tingginya gelombang (Diposaptono dan Budiman 2006).

3. Sejarah Tsunami

Foto Museum Tsunami di Aceh

Istilah tsunami mulai tersebar luas di belahan dunia setelah terjadinya gempa besar di Jepang yang menyebabkan tsunami sehingga menewaskan sekitar 22 000 orang serta merusak pantai timur Honshu sepanjang 280 km. Kejadian tersebut terjadi pada 15 Juni 1896 (Badan Meteorologi dan Geofisika 2010).

Di Indonesia, tsunami diperkirakan terjadi pertama kali pada tahun 1618 di Nusa Tenggara Barat. Dalam kurun waktu tahun 1600 sampai 2006, Indonesia telah mengalami 108 kali kejadian tsunami. Sekitar 90% tsunami di Indonesia disebabkan gempa tektonik, 9% akibat letusan gunung api, dan hanya 1% dipicu oleh tanah longsor.

4. Jenis-Jenis Tsunami

Klasifikasi tsunami berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi tsunami vulkanik dan tsunami tektonik. Jenis tsunami vulkanik adalah jenis tsunami yang disebabkan gempa yang berasal dari kegiatan vulkanik bumi, sedangkan tsunami tektonik disebabkan karena adanya gempa yang terjadi akibat aktivitas tektonik bumi.

4.1 Tsunami Lokal dan Tsunami Berjarak

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009, berdasarkan karakteristiknya tsunami dibedakan menjadi tsunami lokal dan tsunami berjarak.

Tsunami lokal berhubungan dengan episentrum gempa di sekitar pantai sehingga waktu tempuh dari sumber kejadian sampai ke bibir pantai berkisar antara lima sampai tiga puluh menit. Biasanya dampak dari tsunami ini cukup besar karena kekuatan dari gelombang masih sangat terasa ketika sudah mencapai daratan.

Tsunami berjarak adalah jenis tsunami yang paling umum terjadi di pantai-pantai yang bertemu langsung dengan Samudera Pasifik. Jenis tsunami ini memiliki sumber penyebab yang jauh dari bibir pantai sehingga kekuatan gelombang yang dihasilkan tidak sebesar tsunami lokal. Waktu tempuh pada saat gempa sampai terjadinya tsunami di daratan berkisar antara 5.5 jam sampai 18 jam.

5. Penyebab Terjadi

Tsunami menurut PVBMG (2006), dapat terjadi dari gempa tektonik maupun vulkanik apabila memenuhi syarat berikut:

  1. Pusat gempa terjadi di dasar laut
  2. Kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km
  3. Magnitude lebih besar dari 6.0 Skala Richter
  4. Jenis patahan tergolong sesar naik atau sesar turun

Sedangkan menurut King (1972) dan Anhert (1996), faktor-faktor yang dapat menyebabkan tsunami adalah sebagai berikut:

  1. Ada retakan di dasar laut yang disertai dengan suatu gempa bumi. Retakan di sini maksudnya adalah suatu zona planar yang lemah yang melewati daerah kerak bumi.
  2. Ada tanah longsor, baik yang terjadi di bawah air atau yang berasal dari atas lautan yang kemudian menghujam ke dalam air.
  3. Ada aktivitas gunung berapi yang terletak di dekat pantai atau di bawah air yang sewaktu-waktu dapat terangkat atau tertekan seperti gerakan yang terjadi pada retakan.

Berbeda halnya dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (2010), menurut lembaga ini tsunami akan terjadi jika kekuatan gempa lebih dari 7.0 SR, lokasi pusat gempa di laut dengan kedalam kurang dari 70 km, serta terjadi deformasi vertikal dasar laut.

Gelombang tsunami paling sering disebabkan oleh gempa tektonik dangkal di perairan samudera pasifik.

6. Dampak

Perbandingan Keadaan Pra dan Pasca Tsunami

Bencana alam tsunami dapat menyebabkan kerusakan material maupun korban meninggal. Berikut adalah data kejadian tsunami beserta dampaknya yang dihimpun sejak tahun 1961 hingga 2005 (Diposaptono dan Budiman 2008).

Tahun Jumlah Korban Terluka Jumlah Korban Meninggal Daerah Bencana
1961 6 2 NTT, Flores Tengah
1964 479 110 Sumatera
1965 tidak terdata 71 Maluku, Seram, dan Sanana
1967 100 58 Tinambung (Sulawesi Selatan)
1968 tidak terdata 392 Tambo (Sulawesi Tenggara)
1969 97 64 Majene (Sulawesi Selatan)
1977 tidak terdata 316 NTB dan Pulau Sumbawa
1977 25 2 NTT, Flores, dan Pulau Atauro
1979 200 27 NTB, Sumbawa, Bali, dan Lombok
1982 400 13 NTT, Larantuka
1987 108 83 NTT, Flores Timur, dan Pulau Pantar
1989 tidak terdata 7 NTT dan Pulau Alor
1992 2126 1952 NTT, Flores, dan Pulau Babi
1994 400 38 Banyuwangi, Jawa Timur
1996 63 3 Palu, Sulawesi Tenggara
1996 tidak terdata 107 Pulau Biak (Irian Jaya)
1998 tidak terdata 34 Tabuna Maliabu, Maluku
2000 tidak terdata 4 Banggai, Sulawesi Tenggara
2004 tidak terdata lebih dari 210 000 NAD dan Sumatera Utara
2005 tidak terdata tidak terdata Pulau Nias
2006 tidak terdata 668 Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta
2007 tidak terdata tidak terdata Bengkulu dan Sumatera Barat

7. Tsunami Paling Mematikan

Tsunami paling mematikan di Indonesia tercatat pada tahun 1883 di Selat Sunda akibat letusan Gunung Krakatau, 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam, dan pada 17 Juli 2006 terjadi di bagian selatan Pulau Jawa.

Tsunami tahun 1883 di Selat Sunda menelan korban jiwa sebanyak kurang lebih 36 000 orang karena kejadian tsunami menerjang Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Tsunami ini diperkirakan memiliki ketinggian sekitar 41 meter dan menghancurkan ratusan kota dan desa di sepanjang Pantai Selat Sunda di Lampung dan Banten. Bencana ini juga yang dianggap bertanggung jawab dalam berkurangnya populasi Badak Bercula Satu (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon.

Tsunami yang terjadi di Aceh disebabkan oleh gempa bumi yang berkekuatan 9.3 Skala Richter yang berpusat sekitar 30 km di bawah kerak bumi. Hal tersebut menyebabkan lempeng Hindia dan Australia menyeret lempeng Eurasia masuk ke dalam sebagai akibat dari adanya pergerakan lempeng tektonik. Kejadian ini menyebabkan adanya gerakan secara tiba-tiba suatu lempeng ke arah atas sehingga mengakibatkan gelombang besar yang biasa disebut tsunami.

Sebenarnya bencana ini tidak hanya terjadi di Aceh, gempa tektonik yang berkekuatan sama dengan bom berbobot 100 giga ton ini juga menyebabkan tsunami di hampir seluruh pantai yang berbatasn langsung dengan Samudera Hindia, seperti India, Maladewa, Myanmar, dan beberapa negara-negara yang terletak di Samudera Hindia, namun tentunya yang paling mendapat kekuatan gelombang terbesar adalah Aceh.

 8. Tsunami di Indonesia

Indonesia diapit oleh tiga lempeng aktif dunia, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Kondisi ini menyebabkan peluang terjadinya gempa sangat tinggi. Gempa dan tsunami yang berasal dari laut sebelah selatan pulau Jawa akibat dari tumbukan antara lempeng oseanik Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia (Pribadi et al. 2006).

Indonesia sendiri menempati urutan ketiga di dunia negara yang paling rawan terjadi bencana tsunami. Peringkat pertama adalah Jepang dan peringkat kedua adalah Amerika Serikat. Hal ini karena Jepang, Amerika Serikat, dan Indonesia dilalui oleh jalur pegunungan Ring of Fire (Zaitunah 2012).

Daerah-daerah di Indonesia yang paling rawan terkena bencana ini adalah:

  • Sebelah barat Pulau Sumatera
  • Sebelah selatan Pulau Jawa
  • Nusa Tenggara
  • Sebalah utara Papua
  • Sulawesi
  • Maluku
  • Sebelah timur Kalimantan

Menurut Yulianto et al. (2008) gempa bumi di Indonesia rata-rata terjadi sebanyak 15 kali dalam sehari. Gempa bumi yang menyebabkan tsunami di Indonesia pun sering melanda. Berdasarkan data yang ada setidaknya dalam lima belas tahun terakhir tsunami di Indonesia terjadi rata-rata sekali dalam dua tahun.

Gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2004 tercatat memiliki tinggi lebih dari 20 meter. Garis pantai yang terkena tsunami ini lebih dari 500 km. Daerah terparah akibat bencana ini adalah pantai barat mulai dari Banda Aceh hingga Meulaboh.

Tsunami di pantai selatan Jawa yang terjadi pada 17 Juli 2006 diakibatkan gempa bumi berkekuatan 6.8 SR. Namun ketinggian bencana ini tidak lebih dari tsunami yang terjadi di Aceh. Terjangan gelombang tsunami tersebut terjadi setelah seperempat sampai satu jam setelah gempa dengan kecepatan gelombang mencapai 200-600 km per jam.

Gelombang tsunami di pantai selatan Jawa tersebut terjadi tiga kali dengan gelombang kedua merupakan gelombang tertinggi dengan selang waktu hanya 2-5 menit saja. Tinggi tsunami tersebut bervariasi antara 2-8 meter dengan konsentrasi energi tersebar menuju kabupaten Cilacap, Tasikmalaya, dan Ciamis.

Ketinggian tsunami yang mencapai lebih dari 6 meter di pantai selatan Jawa terjadi di kecamatan Cikalong (kabupaten Tasikmalaya), kecamatan Pangandaran (kabupaten Pangandaran), dan kecamatan Binangun (kabupaten Cilacap). Tinggi genangan yang melimpas ke daratan rata-rata kurang dari 2 m dengan arus berkecapatan 10-25 km/jam (Diposaptono & Budiman 2008).

9. Mitigasi

Papan Pemberitahuan Jalur Evakuasi Tsunami

Mitigasi adalah suatu aktivitas untuk mengurangi dampak kerusakan atau kehilangan nyawa. Aktivitas mitigasi bencana alam diperoleh melalui berbagai tindakan analisis risiko untuk menghasilkan berbagai informasi perencanaan mitigasi (FEMA 2008).

Menurut Ihsan (2017), mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum suatu bencana terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka panjang.

Mitigasi bencana tsunami dapat didekati dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan non fisik dan pendekatan fisik.

9.1 Pendekatan Mitigasi Non Fisik

Mitigasi bencana tsunami dengan pendekatan non fisik biasanya dilakukan dengan memetakan tingkat kerawanan daerah tertentu terhadap bencana tsunami selanjutnya diadakan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan berbagai hal yang berkaitan dengan tsunami.

Hal-hal yang disosialisasikan kepada masyarakat biasanya mengenai:

  • Pengertian tsunami
  • Penyebab terjadinya tsunami
  • Ciri-ciri akan terjadinya tsunami
  • Dampak bencana alam tsunami
  • Cara penyelamatan diri dan evakuasi jika terjadi bencana

Sosialisasi ini penting agar masyarakat nantinya paham dan mengerti bagaimana cara mereka untuk menyelamatkan diri, andaikata terjadi bencana alam ini.

Selain dengan sosialisasi, perlu diadakan juga simulasi aksi bencana tsunami. Simulasi ini dimaksudkan agar masyarakat tidak panik saat memperoleh informasi ketika akan terjadi bencana alam tsunami. Dengan adanya simulasi ini juga, masyarakat akan terbiasa dengan keadaan yang genting sehingga ketika saat terjadi bencana masyarakat sudah mengerti apa yang harus mereka lakukan.

9.2 Pendekatan Mitigasi Fisik

Mitigasi bencana dengan pendekatan fisik dapat dilakukan dengan upaya struktural, non struktural, maupun gabungan antar keduanya. Pemilihan upaya mitigasi fisik ini bergantung pada kondisi fisik pantai, tata ruang, tata guna lahan, serta modal yang tersedia.

Mitigasi fisik tsunami dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya adalah (Ihsan 2017):

9.2.1 Pendekatan non struktural dengan sabuk hijau (green belt)

Pendekatan non struktural dengan sabuk hijau misalnya perlindungan daerah pantai dari bencana tsunami dengan menggunakan vegetasi, seperti cemara laut (Casuarina equisetifolia), bakau, pohon api-api, nipah, dan vegetasi lainnya yang berhabitat di pantai.

Mitigasi dengan cara ini harus memenuhi persyaratan teknis dari vegetasi tersebut dalam meredam gelombang. Salah satu parameter yang paling penting adalah nisbah dari lebar hutan bakau dari pantai sampai ujung hutan mangrove yang menghadap langsung ke laut (B) dengan panjang gelombang tsunami (L), atau dapat dirumuskan dengan B/L. Semakin besar nilai B/L maka semakin efektif metode mitigasi bencana tsunami dengan sabuk hijau.

Hutan mangrove atau hutan bakau juga sangat efektif dalam meredam gelombang air laut atau ombak. Hutan mangrove ini dapat mencegah terjadinya abrasi juga.

9.2.2 Pendekatan struktural dengan peringatan dini

Salah satu upaya struktural dalam mitigasi bencana ini adalah pemberitahuan dini terjadinya tsunami. Penyampaian informasi ini dapat menggunakan sirine, lonceng, bel, dan sebagainya. Pemasangan alat pendeteksi dini mutlak harus dilakukan pada metode ini. Sistem peringatan dini menggunakan alat sensor kenaikan tinggi muka air laut, satelit, dan receiver gelombang yang langsung terhubung dengan alat pemberitahu bahaya bencana tsunami.

9.2.3 Bangunan sipil penahan tsunami

Bangunan sipil yang dikhususkan untuk menahan bencana tsunami di Indonesia belum pernah dibangun. Bangunan sipil ini dapat kita temui di negara Jepang. Meskipun sangat efektif dalam meredam terjangan gelombang air, bangunan ini dinilai merusak nilai estetik dari suatu lansekap di pantai.

9.2.4 Bangunan sipil untuk evakuasi

Lokasi evakuasi harus mudah dijangkau apabila bencana tsunami benar-benar terjadi. Lokasi evakuasi dapat berupa lahan yang memiliki ketinggian tertentu dan bangunan tinggi yang tahan terhadap gelombang dan getaran gempa. Apabila suatu pemukiman jauh dari dataran yang memiliki elevasi yang tinggi maka perlu dibuat suatu bangunan sipil yang dikhususkan untuk evakuasi. Bangunan ini sangat penting untuk mengurangi jumlah korban akibat dari lambatnya proses evakuasi ke daerah yang lebih tinggi.

 

Itulah berbagai informasi mengenai tsunami. Semoga informasi ini menyadarkan kita akan bahayanya bencana ini sehingga kita lebih sadar pentingnya evakuasi dan mitigasi. Silakan berikan kritik dan saran membangun kepada kami di kolom komentar di bawah demi semakin baiknya informasi yang kami berikan kepada sahabat Forester Act.

 

Referensi:

Anhert F. 1996. Introduction to Geomorphology. London (UK): Arnold.

Beni S Ambarjaya. 2006. Tsunami Sang Gelombang Pembunuh. Jakarta (ID): CV Karya Mandiri Pratama.

[BMKG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2010.___

Diposaptono S, Budiman. 2006. Tsunami. Bogor (ID): Buku Ilmiah Populer.

Diposaptono S, Budiman. 2008. Hidup Akran dengan Gempa dan Tsunami. Bogor (ID): PT Sarana Komunika Utama.

Djunire S. 2009. Kajian bahaya dan risiko tsunami berbasis geomorfologi untuk menunjang rencana tata ruang kota Manokwari provinsi Papua Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[FEMA] Federal Emergency Management Agency. 2008. Guidelines for Design of Structures for Vertical Evacuation from Tsunamis [internet]. [diunduh 2016 Des 25]. Tersedia pada: https://www.fema.gov/media-library-data/2013 0726-1641-20490-9063/femap646.pdf.

Ihsan F. 2017. Perencanaan lanskap kota Pariaman provinsi Sumatera Barat berbasis mitigasi tsunami [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kementerian Pekerjaan Umum. 2009. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penetapan Status Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta (ID): Kementerian Pekerjaan Umum.

King CAM. 1972. Beaches and Coasts 2nd edition. London (UK): Arnold.

Pribadi S, Fachrizal, I Gunawan, I Hermawan, Y Tsuji, SS Han. 2006. Gempa Bumi dan Tsunami Selatan Jawa Barat 17 Juli 2006. Jakarta (ID): Badan Meteorologi dan Geofisika.

[PVMBG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2006. Gempa Bumi dan Tsunami.

Simandjuntak TD. 1994. Tsunami dan gempa bumi dalam pinggiran lempeng aktif di Indonesia. Makalah Seminar Sehari Masalah Tsunami di Indonesia dan Aspek-Aspeknya. Bandung 6 September 1994.

Sudrajat A. 1994. Sekilas tentang tsunami dan upaya penanggulangan bahayanya. Makalah Seminar Masalah Tsunami di Indonesia dan Aspek-Aspeknya. Bandung 6 September 1994.

Sutowijoyo AP. 2005. Tsunami, karakteristiknya dan pencegahannya. Inovasi. 3(17):-

Yulianto E, F Kusmayanto, N Supriyatnam Dirhamsyah. 2008. Selamat dari Bencana Tsunami, Pembelajaran dari Tsunami Aceh dan Pangandaram. Jakarta (ID): UNESCO.

Zaitunah A. 2012. Pemodelan spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami pantai Ciamis Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[/read]