Satwa Liar Indonesia: Dulu, Kini dan Masa yang Akan Datang

Alam takambang jadi guru, setidaknya begitulah pepatah orang Minang berkata. Alam dengan segala jenis satwa liarnya merupakan sumber inspirasi manusia dalam melalui peradaban. Beberapa model rumah adat yang ada di Indonesia terinspirasi dari berbagai jenis fauna, baik dari segi bentuk bangunan maupun ukirannya. Selain itu, terdapat juga rumah adat yang didesain untuk menghindari bahaya dari satwa liar. Namun kini eksistensi satwa liar mulai berkurang seiring dengan perubahan zaman serta kepunahan.

Satwa liar umumnya dikategorikan menjadi 4 golongan sesuai dengan sumber makanan. Keempat penggolongan tersebut yaitu karnivora, herbivora, omnivora, dan insektivora. Karnivora merupakan satwa yang umumnya memakan daging baik hidup-hidup maupun sudah mati. Berbeda dengan karnivora, herbivora merupakan satwa yang umumnya memakan tumbuh-tumbuhan. Satwa yang mengkombinasikan makanannya baik daging maupun tumbuh-tumbuhan disebut dengan omnivora. Sedangkan, insektivora merupakan satwa yang makanannya berupa serangga.

Perkembangan manusia yang sangat pesat menyebabkan kebutuhan akan sumber daya semakin besar. Hutan yang merupakan habitat fauna dengan cepat berubah menjadi perumahan, gedung-gedung pencakar langit, lahan pertanian, tambang serta fasilitas umum menyebabkan keberadaannya harus tersingkirkan dari rumah yang seharusnya. Berkurangnya luas hutan secara signifikan telah mempengaruhi keberadaan jenis satwa liar di masa sekarang maupun masa yang akan datang.

Keanekaragaman Hayati

 

1. Satwa Liar Zaman Prasejarah

Eksistensi fauna telah dimulai dari masa prasejarah dengan ditemukannya berbagai ukiran dalam gua. Dr Maxime Aubert dari Universitas Griffith di Queensland, Australia menyatakan salah satu figur lukisan tertua mengenai satwa diperkirakan setidaknya berumur 35.400 tahun. Lukisan berbentuk babi tersebut ditemukan di kabupaten Maros, Sulawesi selatan.

Pada zaman ini, satwa umumnya diburu untuk dijadikan sumber makanan dengan keterampilan sederhana. Selain manusia, ancaman utama bagi satwa pada zaman ini adalah predator alami satwa. Walaupun kegiatan predasi sudah ada, tetapi pada zaman ini bukanlah ancaman nyata bagi keberadaan satwa liar.

2. Satwa Liar Zaman Kerajaan

Zaman kerajaan Indonesia dimulai sekitar tahun 130 masehi yang ditandai dengan terbentuknya kerajaan Salakanagara di tanah Pasundan. Berkembangnya kemampuan manusia dalam berbagai bidang pada zaman ini mengakibatkan diversifikasi peran satwa liar terutama dalam bidang kehidupan budaya masyarakat yang ditandai dengan masuknya jenis-jenis satwa sebagai simbol kerajaan atau adat-istiadat.

Harimau jawa yang menjadi simbol Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran, merak dalam kesenian reog ponorogo, hiu dan buaya dalam cerita Surabaya, harimau sumatera dalam tatanan masyarakat melayu dan masih banyak lagi. Kepercayaan tertentu masyarakat terhadap mitos dan cerita dari tetua membantu pelestarian jenis satwa tertentu dalam kehidupan masyarakat pada zaman ini.

[read more]

3. Satwa Liar Zaman Penjajahan

Masuknya penjajah ke Indonesia memberikan pengaruh juga terhadap keberadaan satwa liar. Portugis, Spanyol, Inggris, VOC, Belanda, serta Jepang membuat satwa liar terancam kehidupannya. Eksploitasi besar-besaran penjajah terhadap sumber daya hutan Indonesia terutama hasil bumi berupa rempah-rempah membuat hutan banyak yang ditebang untuk membangun kebun.

Kebun-kebun yang ditanam secara monokultur skala besar dengan teknologi dari Eropa. Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda dari Afrika Barat pada tahun 1848. Berdirinya kebun sawit di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an dengan luas mencapai 5.123 ha menandakan mulainya era perkebunan sawit yang masih bertahan sampai sekarang.

Kegiatan konservasi dimulai pada akhir abad 19 di Indonesia. Hal ini bermula dengan adanya tekanan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1896 akibat maraknya penyelundupan cendrawasih. Melihat kondisi ini, MC Piepers yang merupakan mantan pegawai departemen hukum Hindia Belanda mengusulkan dibentuknya taman nasional seperti Yellow Stone di Amerika.

Tahun 1910 dibuatlah undang-undang pertama mengenai perlindungan mamalia serta burung liar di Hindia Belanda. Setelah itu, tepatnya pada tahun 1913 ditetapkan 12 kawasan yang perlu dilindungi di Pulau Jawa oleh Nederlands Indische Vereniging tot Natuur Bescherming (Perhimpunan Perlindungan Hindia Belanda) yang diketuai oleh Dr.S.H. Koorders.

Perhimpunan ini berdiri setahun sebelum penetapan kawasan ini. Hal ini merupakan langkah positif dalam menurunkan tekanan terhadap satwa liar terutama yang diperdagangkan pada saat itu. Langkah positif selanjutnya adalah dengan berdirinya cagar alam Cibodas dan Ujung Kulon pada tahun 1932. Kedua kawasan ini telah diusulkan dari tahun 1889 (Cibodas) dan 1912 (Ujung Kulon). Pada zaman penjajahan ini harimau bali terakhir ditembak mati pada tahun 1925 dan dinyatakan punah pada tahun 1937.

Kekalahan Belanda atas Jepang membuat tekanan terhadap hutan Indonesia serta habitat satwa meningkat. Eksploitasi besar-besaran sumber daya untuk memenuhi kebutuhan perang telah merusak lingkungan. Penebangan kayu untuk dijadikan bahan bakar pabrik, bahan bangunan serta pembuatan kapal-kapal jepang dalam menyuplai keperluan di perang Asia Timur Raya.

4. Satwa Liar Zaman Pasca Kemerdekaan

Kegiatan konservasi memiliki perkembangan yang lambat pasca kemerdakaan Indonesia. Pergerakan konservasi awalnya dimulai pada tahun 1947 dengan penunjukan suaka alam Bali Barat oleh prakarsa raja-raja bali. Akan tetapi, setelah pergerakan konservasi vakum hingga tahun 1974 yang ditandai dengan berhasilnya penyusunan rencana pengembangan kawasan-kawasan konservasi oleh Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA).

Hal ini merupakan gebrakan positif setelah dinyatakan punahnya harimau jawa setahun sebelumnya. Punahnya harimau jawa pada tahun 1973 merupakan berita duka di mana kepunahan harimau jawa merupakan kepunahan harimau kedua setelah harimau bali dan hanya menyisakan harimau sumatera di Indonesia.

Pada tahun 1980, ditetapkanlah 5 taman nasional pertama yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Baluran, dan Taman Nasional Komodo. Kelima kawasan taman nasional ini ditunjuk karena memiliki kekhasan masing-masing yang memiliki daya dukung terhadap kehidupan satwa liar. Pembentukan taman nasional ini merupakan langkah besar dari Indonesia disaat maraknya penebangan oleh industri kayu yang menjadi penopang pendapatan negara saat itu.

Hingga tahun 2018, total taman nasional di Indonesia telah mencapai 53 kawasan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2015 menyatakan kawasan hutan konservasi (Kawasan Hutan Suaka Alam-Kawasan Hutan Pelestarian Alam) memiliki luas 27,4 juta ha dan hutan lindung seluas 29,7 juta ha dari total luas hutan di Indonesia sebanyak 128 juta ha. Jumlah ini tentu akan semakin menurun kedepannya.

Bergantinya tahun berganti pula keadaan. Semakin menipisnya hutan tempat habitat satwa dikarenakan masuknya berbagai industri seperti tambang, kelapa sawit, perusahaan yang secara tidak langsung menebang hutan untuk keperluan lahan maupun bahan baku.

Masuknya industri menjadi pro dan kontra bagi negara. Di satu sisi Industri merupakan pendorong perekonomian Indonesia yang merupakan negara maju dan disisi lain menjadi ancaman bagi kelangsungan habitat satwa liar karena banyaknya industri ilegal dan standar operasional yang tidak dijalankan dengan baik.

Ancaman lain juga datang dari kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan yang mencemari lingkungan dan menyebabkan penyakit dan perubahan perilaku pada satwa, perburuan liar yang semakin marak tanpa memikirkan kelangsungan hidup satwa, dan stigma tentang satwa sebagai obat yang bernilai mahal di pasaran gelap.

Menurut IUCN tahun 2013 terdapat 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, dan 32 jenis ampibi yang dilindungi. Jumlah total spesies satwa Indonesia yang terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies, kategori endangered 197 spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis. Jumlah ini tentu akan semakin bertambah kedepannya mengingat kurangnya perhatian masyarakat dalam menjaga kelestarian satwa liar.

5. Satwa Liar di Masa yang Akan Datang

Berkembangnya ilmu pengetahuan di masa mendatang akan menjadi titik balik punah atau tidaknya berbagai jenis satwa liar. Meningkatnya temuan teori pendukung repoduksi satwa dan konservasi eksitu akan mampu meningkatkan peluang satwa tersebut menjauh dari kepunahan. Satwa seperti gajah sumatera, orang utan, badak, dan satwa endemik Indonesia lainnya masih dapat diselamatkan.

Memberikan edukasi sejak dini terhadap generasi penerus akan menjadi salah satu kunci kehidupan dan keberadaan satwa di masa mendatang. Edukasi sangat penting guna merubah perilaku buruk masyarakat terutama membuang sampah sembarangan, memburu satwa dilindungi serta akan mengurangi pasar gelap satwa liar.

Akan tetapi, ancaman bagi satwa liar juga akan lebih besar ke depannya. Perubahan lingkungan ke depannya menjadi ancaman serius bagi satwa karena dibutuhkan adaptasi disaat terjadinya perubahan keadaan iklim yang tidak menentu.

Di saat semakin banyak masyarakat teredukasi maka perubahan lingkunganlah yang akan menjadi masalah utama karena memperbaiki lingkungan akan sangat sulit ke depannya dan sumber daya yang tersedia akan sangat sedikit jika dibandingkan dengan ledakan jumlah penduduk.

Ke depannya nasib satwa liar akan berada di tangan manusia, seberapa peduli kita atau seberapa perjuangan kita untuk memberi warisan alam terbaik bagi anak cucu kita. Apakah kita akan mewariskan satwa liar untuk mereka atau hanya akan mewariskan gambar dan cerita tanpa mereka bisa melihat langsung satwa tersebut. RENUNGKANLAH!

[/read]