Lahan Gambut: Pengertian, Jenis, dan Manfaat

Sumber daya alam yang ada di dunia sangatlah beragam jumlah dan jenisnya.

Salah satu sumber daya alam tersebut adalah sumber daya lahan gambut.

Sumber daya satu ini sangat penting peranannya mengingat segala aktivitas manusia dilakukan di atasnya.

Oleh karena itu, pengelolaan dan jenis penggunaannya tidak sembarangan agar dapat memberikan manfaat yang baik bagi manusia.

Jenis lahan gambut ini memiliki keunikan tersendiri dari pembentukan, ciri-ciri, manfaat, serta pengelolaannya. Berikut ini artikel lengkap yang akan membahas mengenai lahan gambut.

1. Pengertian Lahan Gambut

Lahan adalah suatu sumber daya dalam suatu wilayah dalam bentuk daratan yang di dalamnya mencakup semua karakteristik yang berperan dalam pembentukan lahan tersebut serta lingkungannya.

Karakteristik tersebut berupa tanah, geologi, hidrologi, atmosfer, timbulan, populasi flora dan fauna dalam suatu siklus atau non-siklus termasuk kegiatan manusia yang terjadi diatasnya sehingga dapat dikatakan bahwa lahan memiliki karakteristik tidak hanya secara ekologi tetapi juga budaya (Yuwono 2009).

Lahan Gambut

Salah satu jenis sumber daya lahan adalah lahan gambut. Lahan gambut adalah sebidang lahan yang lapisan tanahnya tersusun oleh bahan organik yang banyak yang kandungan karbon organiknya 18% dan tebalnya mencapai hingga lebih dari 50 sentimeter (Agus dan Subiksa 2008). Sesuai dengan namanya, lahan ini merupakan lahan yang tanahnya dipenuhi dengan gambut.

Gambut adalah bahan organik tumbuhan yang menumpuk pada kondisi reduksi. Lama waktu penumpukan tidak sebanding yaitu lebih cepat daripada waktu penguraiannya sehingga bahan organik tersebut tidak mengalami dekomposisi secara sempurna. Hasil pelapukan bahan organik yang membentuk gambut memiliki warna hitam kecoklatan, kemerah-merahan, cokelat kehitaman, seperti warna-warna pada teh dan sebagainya (Augusta 2012).

Sedangkan, menurut Peraturan Pemerintah nomor 57 Tahun 2016, gambut memiliki definisi material organik terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) sentimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa.

Ekosistem gambut sendiri adalah tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya. Oleh sebab itu, gambut memiliki keunikan sendiri yang berbeda dengan jenis sumber daya lahan lainnya.

[read more]

2. Karakteristik Lahan Gambut

Lahan gambut memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang berbeda dari jenis lahan lainnya. Lahan gambut memiliki penyusun lapisan berupa tanah gambut. Tanah gambut sendiri memiliki karakteristik yang dapat dibedakan secara fisik dan kimia.

Secara fisik, tanah gambut memiliki kadar air kisaran 100% hingga 1300% dari berat keringnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa air yang mampu diserap oleh gambut mencapai 13 kali dari bobotnya. Sehingga air masih mampu mengalir ke areal sekelilingnya oleh kubah gambut hingga batas tertentu. Kadar air tinggi menjadikan gambut memiliki kepadatan tanah atau bulk density yang rendah sehingga kemampuan untuk menahan bebannya rendah dan tanahnya menjadi lunak atau lembek.

Bulk density yang dimiliki juga berbeda-beda pada tiap tingkat dekomposisinya. Misalnya pada lapisan atas umumnya antara 0,1 g/cm3 sampai 0,2 g/cm3. Pada gambut fibrik memiliki bulk density berkisar lebih rendah dari 0,1 g/cm3. Pada gambut di jalur aliran sungai yang dapat memiliki bulk density lebih besar dari 0,2 g/cm3 dengan faktor pengaruh berupa tanah mineral.

Bulk density yang rendah dapat menyulitkan untuk pengoperasian alat berat diatasnya bahkan menopang tanaman khususnya tanaman tahunan agar tumbuh berdiri dengan tegak.

Gambut dapat mengalami penyusutan volume bila mengalami drainase dan dapat menyebabkan penurunan permukaan tanah atau subsiden. Penurunan permukaan tanah dapat terjadi bukan hanya disebabkan oleh penyusutan volume, tetapi juga erosi dan proses dekomposisi. Gambut tidak bisa menyerap air lagi apabila telah mengering dan kadar airnya dibawah 100%, sehingga bahan organiknya dapat dengan mudah terbakar apabila dalam kondisi kering.

Secara kimia, tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral yang menyusunnya termasuk dalam ketebalan dan jenis mineralnya pada setiap substratum serta tingkat dekomposisinya.

Di Indonesia, kandungan mineral pada gambut hanya berkisar 5% dan sisanya merupakan bahan organik. Bahan organiknya juga terbagi menjadi beberapa fraksi seperti senyawa humat yang terdiri 10% hingga 20% dan sisanya merupakan senyawa selulosa, lilin, hemiselulosa, suberin, lignin, protein, resin, dan lain-lain.

Tanah gambut juga memiliki pH yang tergolong asam dengan tingkat kemasaman yang relatif tinggi berkisar antara 3 sampai 5 misalnya pada gambut oligotropik dengan pH 3,25 hingga 3,75 yang terdapat substratum pasir kuarsa. Gambut oligotropik juga sering ditemukan di Pulau Kalimantan.

3. Jenis-Jenis Lahan Gambut

Lahan ini juga terbagi berdasarkan klasifikasi menjadi beberapa macam. Klasifikasinya dapat terbagi berdasarkan kedalaman, posisi pembentukan, lingkungan pembentukan, kesuburan, hingga tingkat kematangannya.

3.1 Berdasarkan Kedalamannya

Lahan ini terbagi menjadi 4 jenis berdasarkan kedalamannya yaitu:

  • Dangkal (Kedalaman 50 cm sampai 100 cm)
  • Sedang (Kedalamannya 100 cm hingga 200 cm)
  • Dalam (Kedalaman antara 200 cm sampai 300 cm)
  • Sangat dalam (Kedalaman yang lebih dari 300cm)

3.2 Berdasarkan Posisi Pembentukannya

Jika dilihat dari posisi pembentukannya maka terbagi menjadi 3 jenis yaitu:

  • Gambut pedalaman yang terbentuk pada daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
  • Gambut pantai dengan lokasi pembentukannya dekat pantai laut dan dipengaruhi oleh mineral air laut.
  • Gambut transisi dengan posisi pembentukan antara gambut pedalaman dan gambut pantai serta mendapat pengaruh secara tidak langsung oleh air pasang laut.

3.3 Berdasarkan Lingkungan Pembentukan

Jenis ini membagi menjadi 2 jenis lahan. Salah satunya adalah ombrogen yang mendapat pengaruh hanya dari air hujan serta topogen yang terbentuk pada lingkungan dengan pengaruh air pasang. Hal tersebut menyebabkan jenis topogen lebih subur dan kaya mineral apabila dibandingkan dengan jenis ombrogen.

3.4 Berdasarkan Kesuburan

Lahan ini terbagi ke dalam 3 jenis lahan.

  • Eutrofik
    Eutrofik kaya mineral dan basa-basa juga unsur hara lainnya sehingga tergolong subur dan termasuk dalam gambut yang tipis serta mendapat pengayaan oleh air laut atau air sungai.
  • Mesotrofik
    Jenis ini memiliki tingkat kesuburan agak subur dengan kandungan basa serta mineralnya tergolong sedang.
  • Oligotrofik
    Jenis yang tidak tergolong subur dan miskin mineral serta senyawa basa lainnya biasanya memiliki ciri-ciri kubah gambut yang tebal dan tidak mendapat pengaruh dari air laut atau lumpur sungai.

3.5 Berdasarkan Tingkat Kematangannya

Berdasarkan tingkat kematangannya, lahan gambut juga dibagi menjadi 3 yaitu:

  • Matang atau Saprik
    Jenis gambut yang telah melapuk lanjut serta tidak dikenali lagi bahan asalnya dengan ciri-ciri warna cokelat tua hingga hitam dan kandungan seratnya apabila diremas kurang dari 15%.
  • Setengah Matang atau Hemik
    Jenis ini mengalami setengah pelapukan dengan warna cokelat dan masih bisa dikenali bahan asalnya dan kandungan serat apabila diremas adalah 15 sampai 75%.
  • Jenis mentah atau Fibrik
    Jenis yang bahan asalnya masih lebih bisa dikenali daripada jenis hemik dan belum mengalami pelapukan sehingga kandungan seratnya apabila diremas masih tersisa lebih dari 75%. Ciri-ciri lainnya yaitu memiliki warna cokelat yang lebih muda.

4. Sebaran Lahan Gambut di Dunia

Lahan gambut tersebar di berbagai penjuru dunia. Namun, tidak semua negara memiliki lahan gambut di dalamnya. Salah satu yang pasti memiliki lahan gambut adalah Indonesia yang berdasarkan Global Wetlands pada tahun 2019 memiliki luas 22,5 juta hektare.

Penyebarannya paling banyak adalah di Kalimantan dengan total luas 6,6 juta hektare tersebar di setiap provinsinya. Lalu di Papua sebesar 6,3 juta hektare dan Papua Barat sebesar 1,3 juta hektare. Di Pulau Sumatera sebesar 4,5 juta hektare dengan wilayah penyebaran di provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Sisanya tersebar di wilayah lain.

Pada tahun 2008, salah satu sebaran terluasnya berada di Rusia. Namun, terjadi konversi lahan menjadi penggunaan lain secara besar-besaran di dunia dan 37% dari 3,83 juta hektare terjadi di Rusia. Tidak hanya konversi, tetapi juga mengalami pengurangan sebesar 26% dari luas 6,5 juta hektare dari tahun 1990 hingga 2008 di Rusia. Berbanding terbalik dengan Rusia, lahan gambut di Asia mengalami penambahan seluas 7,8 juta hektare.

Sedangkan di wilayah Eropa negara terluas yang memiliki lahan gambut adalah Belarusia dan Finlandia. Tetapi sama halnya di Rusia, daerah ini juga mengalami pengurangan lahan gambut selama periode 1990 hingga 2008 dari total pengurangan lahan akibat konversi sebesar 33% dari luas total pengurangan sebesar 3,83 juta hektare.

5. Manfaat

Lahan ini memiliki segudang manfaat bahkan selalu menjadi perbincangan hangat di dunia kehutanan dan lingkungan. Manfaat dari ekosistem gambut sendiri misalnya sebagai habitat bagi spesies flora dan fauna yang tergolong langka. Selain itu, dapat menjadi penyangga hidrologi bagi daerah sekelilingnya karena kemampuannya yang tinggi dalam menahan air. Selain itu, manfaat yang paling utama adalah sebagai penyimpan karbon dalam jumlah yang besar.

Lahan gambut juga memiliki kontribusi dalam pengurangan gas rumah kaca di atmosfer dengan proses penambatan sebesar 0,3 mm gambut per tahun. Lahan ini juga memiliki potensi untuk tempat mengelola tanaman semusim atau pertanian dengan penanaman dilakukan di lahan gambut dangkal. Hal ini karena tingkat kesuburan yang tinggi serta resiko kerusakan lingkungan yang terjadi juga rendah.

Contoh tanaman semusim yang dapat beradaptasi dengan lahan ini yaitu jagung, ubi kayu, kedelai, kacang panjang hingga padi.

Tidak hanya untuk tanaman semusim, tetapi juga tanaman tahunan seperti karet, kelapa, kelapa sawit, kakao, bahkan kopi. Namun, tanaman tersebut harus ditanam pada gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter.

Selain tidak diperbolehkan oleh peraturan karena merupakan kawasan konservasi dengan kondisi lahan dalam yang rapuh, jika ditanam pada ketebalan dibawah 3 meter juga harus menambahkan atau menyisipkan lapisan tanah atau lumpur mineral.

Selain itu, lahan gambut mampu menyimpan hingga 550 gigaton karbon walaupun luasnya hanya 3% dari total luas daratan dunia. Hal itu setara dengan 2 kali simpanan karbon pada seluruh hutan yang ada di dunia.

Pada daerah tropis, ekosistem gambut mampu menyimpan karbon 10 kali lebih banyak daripada tanah dan tanaman di tanah mineral. Sehingga lahan gambut juga berperan dalam pengurangan gas rumah kaca.

6. Pembentukan Gambut

Terbentuknya gambut terdiri dari beberapa proses. Gambut sendiri diduga terbentuk pada masa Holosin yaitu sekitar 10.000 hingga 5000 tahun SM, sedangkan di Indonesia terjadi pada tahun 6.800 sampai 4.200 SM. Bahkan di Kalimantan Tengah umur gambutnya mencapai 6,239 tahun di kedalaman 100 cm dan 8.260 tahun di kedalaman 5 m jika ditelusuri menggunakan teknik radio isotop atau carbon dating.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa untuk gambut terbentuk memerlukan waktu yang sangat panjang. Kecepatan pembentukan gambut adalah sekitar 0,3 mm/tahun.

Pada awalnya merupakan danau dangkal yang kemudian ditumbuhi oleh vegetasi lahan basah serta tanaman air lainnya secara perlahan.

Kemudian, vegetasi yang tumbuh sebelumnya mati dan mengalami proses pelapukan secara bertahap. Proses pelapukan tersebut membentuk lapisan transisi dengan lapisan di bawahnya atau lapisan substratum berupa tanah mineral. Kemudian, tumbuh lagi tanaman berikutnya di bagian yang lebih tengah dari danau dangkal dan membentuk lapisan-lapisan gambut lainnya hingga memenuhi danau tersebut.

Bagian yang mengisi danau dangkal dikenal dengan nama gambut topogen. Gambut topogen memiliki proses pembentukan akibat topografi yaitu berupa daerah cekungan dan tergolong eutrofik sehingga termasuk tanah yang subur karena adanya pengaruh dari tanah mineral. Jika terjadi banjir besar akan meningkatkan mineral di dalamnya. Penambahan mineral juga turut dalam meningkatkan kesuburan tanahnya.

Di atas jenis gambut topogen masih dapat ditumbuhi dengan subur oleh tanaman tertentu. Kemudian terbentuklah lapisan gambut yang baru dari hasil pelapukannya sehingga semakin banyak pelapukan membentuk permukaan yang cembung yang disebut sebagai kubah gambut.

Di atas jenis gambut topogen muncul kembali jenis gambut yang disebut dengan jenis gambut ombrogen dan dipengaruhi oleh air hujan dalam proses pembentukannya.

Kesuburan dari jenis gambut ombrogen lebih rendah apabila dibandingkan dengan gambut topogen. Hal ini dapat terjadi karena pada jenis gambut ombrogen tidak mengalami penambahan mineral.

7. Gambut sebagai Sumber Energi

Selain sebagai lahan, gambut juga dapat menjadi energi alternatif yang terbarukan untuk pengganti energi yang saat ini digunakan dengan jumlah yang semakin menipis setiap tahunnya. Salah satu negara yang memanfaatkan gambut sebagai energi alternatif adalah Finlandia. Di Finlandia, gambut dikelola untuk dijadikan sektor energi.

Industri Gambut di Finlandia

Gambut dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi daripada kayu atau arang yang dibakar. Nilai kalori gambut terbilang cukup tinggi yaitu 4.400 hingga 5.900 kal/g. Selain itu, dipengaruhi oleh komponen organik lainnya seperti asam humat, bitumen, karbohidrat, serta lignin. Komponen-komponen ini berpengaruh dalam intensitas fase pembakaran.

Gambut juga memiliki energi kalor lepas dengan kisaran 10 mJ/kg sampai 20 mJ/kg. Di dalam 1 m3 gambut yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar akan mampu untuk menghasilkan energi sebesar 600 mJ. Energi tersebut dapat diperoleh apabila menggunakan 17 kg batu bara sehingga sangat potensial untuk menjadikan gambut sebagai sumber energi. Contohnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap Gambut yang sudah ada di Kalimantan dan telah dinyatakan ramah lingkungan.

Gambut memiliki komponen Fe2O akan menurunkan titik lebur abu juga rendahnya kandungan sulfur sebesar 0,05% sampai 0,20% sehingga akan sangat menguntungkan dari aspek lingkungan. Titik lebur yang dimiliki oleh gambut sendiri adalah kurang dari 3%. Kandungan kalori yang dimilikinya adalah sebesar 1.330 kJ/Nm3 sampai 1.370,6 kJ/Nm3.

Namun, untuk pembuatannya dalam menjadikannya sebagai bahan energi memerlukan sistem pemurnian yang baik. Hal tersebut karena gambut menghasilkan beberapa gas yang tergolong jenis gas berbahaya. Gas tersebut adalah CO2, CH4, dan N2O yang terjadi dari proses pirolisis.

Selain itu, pemanfaatan gambut sebagai energi alternatif merupakan cara untuk mengelola lahan gambut secara baik. Lahan gambut dapat menjadi bencana jika tidak dikelola dengan baik terutama saat musim kemarau. Lahan ini dapat menyimpan titik api yang lama untuk padam karena memiliki titik abu yang rendah sehingga jika terjadi kebakaran akan sulit untuk memadamkannya.

8. Flora dan Fauna di Lahan Gambut

Sama seperti lahan pada lainnya, lahan ini juga merupakan tempat habitat bagi flora dan fauna. Salah satu fungsinya adalah untuk menjaga keanekaragaman spesies hayati yang ada di dalamnya. Penyebaran spesiesnya juga dipengaruhi oleh formasi pada lahan gambut dan pada bagian yang memiliki gambut tebal akan sedikit jenis vegetasinya karena miskin unsur hara.

Menurut Rizali dan Buchori (2015), pada bagian pinggiran kubah memiliki keanekeragaman jenis tumbuhan paling tinggi dan sering disebut sebagai mixed forest dengan berbagai jenis pohon dengan diameter kayu yang besar juga banyak ditumbuhi oleh tumbuhan bawah. Semakin dekat dengan kubah gambut, akan semakin sedikit juga keanekaragaman tumbuhannya dan sering disebut sebagai deap peat forest.

Kubah gambutnya adalah tempat dengan keanekaragaman flora yang sangat sedikit. Tempat ini juga disebut sebagai padang forest karena hanya ditumbuhi pandan, pohon-pohon kerdil, dan semak belukar yang juga memiliki kerapatan yang rendah atau jarang.

Tumbuhan yang sering ditemukan dan merupakan endemik ekosistem ini adalah Jelutung Rawa (Dyera costulata) serta Ramin (Gonystylus bancanus) yang merupakan tumbuhan endemik dan bernilai ekonomis.

Selain itu masih terdapat tumbuhan lainnya yang merupakan endemik pada lahan tersebut seperti punak (Tetramerista glabra), Kempas (Kompassia malaccensis), Pulai Rawa (Alstonia pneumatophora), bintangur (Callophyllum spp.), Nyatoh (Palaquium spp.), Meranti Rawa (Shorea pauciflora), hingga Rengas (Melanorrhoea walichii).

Pada lahan ini juga diemukan banyak fauna yang tergolong dalam fauna akuatik maupun fauna terestrial. Fauna-fauna tersebut merupakan endemik pada ekosistem gambut juga termasuk dalam daftar spesies dilindungi berdasarkan IUCN.

Orangutan Hidup di Gambut (pixabay.com)

Fauna endemik tersebut diantaranya Langur (Presbytis rubicunda), Harimau Sumatera (Panthera tigris), Buaya Sinyulong (Tomistoma schlegelii), Orang Utan (Pongo pygmaeus), serta Beruang Madu (Helarctos malayanus).

Selain itu, juga ditemukan beberapa spesies ikan yang memiliki nilai jual tinggi seperti Ikan Gabus (Chana striata), Saluang (Rasbora sp.), Toman (Channa micropeltes), dan Tapah (Wallago leeri).

Spesies burung yang langka dan dilindungi juga ditemukan pada lahan gambut seperti Enggang hitam dan Rangkong.

Tidak hanya makrofauna, bahkan terdapat amuba yang memang lazim untuk ditemui pada berbagai kondisi air untuk digunakan sebagai indikator misalnya indikator pada lahan gambut.

9. Kerusakan Lahan Gambut

Saat ini, lahan ini memiliki banyak sekali permasalahan. Sehingga, menjadikan luasannya terus berkurang. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada lahan tersebut.

Salah satu penyebabnya adalah kebakaran hutan. Bencana ini pada umumnya terjadi akibat ulah manusia secara sengaja maupun tidak sengaja. Selain itu, gejala alam seperti el nino dapat meningkatkan resiko terjadinya kebakaran hutan pada lahan gambut. Pengeringan gambut sangat berperan dalam kerusakannya karena akan sangat sulit bagi gambut untuk kembali menyerap air apabila sudah dikeringkan sehingga mudah terbakar.

Kerusakan Lahan Gambut

Alih fungsi kawasan menjadi perkebunan kelapa sawit juga berpengaruh terhadap kerusakannya. Gambut tersebut dikeringkan sehingga mengalami degradasi karena sulit untuk kembali menyimpan air. Bahkan pada tahun 2014 dalam bulan Juni hingga September telah hilang seluas 4000 hektare gambut karena jumlah perizinan yang dikeluarkan untuk diubah menjadi kebun kelapa sawit terbilang banyak.

Selain itu, juga terdapat pembukaan lahan untuk digunakan menjadi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pembangunan HTI melakukan pembangunan kanal dengan maksud untuk mengatur tata air atau drainase agar dapat dilakukan penanaman. Namun, hal tersebut dapat memicu terjadinya kekeringan dalam lahan tersebut.

10. Upaya Konservasi

Pentingnya kawasan gambut dalam segi ekologi dan sosial budaya menjadikan perlu adanya upaya konservasi agar tetap seperti fungsinya. Lahan yang bisa dimanfaatkan adalah dengan ketebalan kurang dari 3 m dan tidak termasuk kawasan lindung. Perlu adanya sistem alternatif untuk menghilangkan kebiasaan pembakaran gambut dalam upaya menyuburkan tanah pada lahan untuk fungsi pertanian.

Selain itu, juga dibutuhkan penanaman yang dapat menambat banyak CO2 dan toleran tanpa drainase atau drainase dangkal seperti tanaman sagu dan karet. Drainasenya juga harus diatur karena drainase yang semakin besar akan menyebabkan penurunan muka air yang semakin besar juga sehingga dapat mempercepat emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, harus dianalisis sistem hidrologinya di seluruh hamparan lahan khususnya pada kubah gambut.

Penegasan dan penguatan undang-undang dalam mengawasi pengelolaan lahan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perbuatan curang sehingga dapat mendegradasi lahan.

Lahan gambut adalah lahan yang unik dan sangat dibutuhkan kehati-hatian yang tinggi dalam mengelolanya. Semoga bacaan ini dapat memberikan wawasan lebih bagi para pembacanya tentang gambut sehingga dapat bersikap bijak dalam permasalahan lingkungan.

 

Referensi:
Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah dan World Agorforestry Centre (ICRAF).

Augusta TS. 2012. Aklimatisasi Benih Ikan Nila (Oreochromis spp) dengan pencampuran air gambut. Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 1 (2): 78-82.
Rizali A, Buchori D. 2015. Lahan gambut dan keanekaragaman hayati [Presentasi Power Point]. IPN Toolbox Tema C Subtema C1. www.cifor.org/ipn-toolbox.
Yuwono NW. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 9 (2): 137-141.

 

Editor:
Mega Dinda Larasati

[/read]