Kongsi Perusahaan dalam Peristiwa Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan seolah sudah menjadi bencana musiman yang kerap muncul saat hujan tak kunjung datang. Masyarakat yang sudah kesusahan mengupayakan air bersih sebagai salah satu kebutuhan penunjang kehidupan pun berang bukan kepalang. Air dan udara yang merupakan kebutuhan dasar manusia sudah tak dapat diharapkan lagi kesesuaiannya.

Katanya, hutan adalah paru-paru kehidupan. Layaknya paru-paru dalam tubuh manusia, tentu siapa pun tidak ingin paru-paru tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya karena mengalami gangguan. Fungsinya yang vital dalam menjaga eksistensi kehidupan, layak menempatkannya sebagai organ yang harus diperhatikan.

Namun, dengan dalih mencukupi kebutuhan dan menutupi banyaknya kekurangan, segelintir orang tak segan merusak ‘paru-paru kehidupan’. Seolah kebutuhan bersama untuk dapat menikmati kebaikan hutan layak dikorbankan. Mereka berpandangan bahwa kebutuhan akan fungsi hutan berada dalam urutan kesekian. Selain itu, mereka menganggap banyak kebutuhan lain yang dapat terpenuhi dengan ‘hanya’ mengorbankan hutan.

Kebakaran Lahan dan Hutan

Pemerintah pun sebenarnya tidak menutup mata dengan keadaan ini. Terdapat beberapa undang-undang yang menjadi payung hukum untuk menjaga kelestarian hutan di antaranya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan Undang undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pelanggar undang-undang tersebut dapat diberikan sanksi sesuai dengan peranannya dalam pembakaran hutan.

Namun, main belakang seolah tak luput dalam upaya memuluskan kepentingan tak terkecuali dalam upaya peralihan fungsi hutan. Banyak para pengusaha nakal yang pandai bermain dengan oknum terkait. Undang-undang seolah hanya menjadi dokumen tertulis yang bisa diselewengkan asal ada kesepakatan dari pihak-pihak yang ingin diuntungkan. Peraturan hukum yang diharapkan dapat menjaga ekosistem hutan agar dapat berfungsi semestinya seolah sirna.

[read more]

Menelisik Lebih Jauh Kepentingan Perusahaan dalam Pembakaran Hutan

Salah satu cara praktis yang dilakukan perusahaan untuk membuka lahan adalah dengan membakar hutan. Sektor pertanian pada tahun 2012-2016 berkontribusi terhadap perekonomian nasional dengan menyumbang angka 13% dengan subsektor utama adalah perkebunan. Tak mengherankan jika perkebunan menjadi salah satu penunjang utama pilar perekonomian sehingga perizinan untuk membuka lahan perkebunan seolah dapat dimudahkan.

Terdapat beberapa alasan yang menguatkan keterlibatan perusahaan dalam upaya pembakaran hutan. Dalam kasus ini, industri kelapa sawit banyak berperan dalam peralihan fungsi hutan. Kelapa sawit dianggap memiliki nilai jual yang lebih tinggi untuk laku dalam pasar global daripada keanekaragaman hayati dalam hutan yang tak dapat dinikmati hasilnya secara langsung.

Kebakaran dapat menurunkan kualitas lahan hutan sehingga dapat mendukung usaha untuk memiliki kawasan hutan permanen untuk kepentingan produksi secara legal. Kawasan hutan produksi ini dikelompokkan kembali sebagai kawasan-kawasan hutan yang tersedia untuk dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan. Dengan semakin terbatasnya lahan yang tersedia yang tidak diklasifikasikan sebagai hutan dan cocok untuk perkebunan kelapa sawit, membakar hutan menjadi suatu cara yang dapat meningkatkan persediaan lahan yang ada untuk perkebunan.

Pada kawasan yang telah dialokasikan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit, membakar hutan dianggap sebagai suatu cara yang hemat biaya untuk membuka lahan. Menurut salah satu perusahaan yang beroperasi di Kalimantan Tengah, pembukaan lahan dengan alat-alat mekanis membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan melakukan pembakaran.

Banyak perusahaan menginginkan lokasi perkebunan letaknya sedekat mungkin dengan fasilitas pengolahan dan jalur-jalur transportasi yang dapat membawa hasil panennya ke berbagai fasilitas ini karena buah kelapa sawit harus diolah dalam 24 jam setelah dipanen.

Namun, kawasan-kawasan yang lebih mudah diakses umumnya telah padat oleh penduduk lokal. Perusahaan-perusahaan kelapa sawit kemudian mempekerjakan tenaga kerja dari luar untuk membakar lahan masyakarat lokal yang lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan. Kebakaran mengurangi nilai lahan karena lahan menjadi terdegradasi. Sehingga, perusahaan akan lebih mudah untuk mengambil alih lahan dan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk lokal.

Dalam beberapa kasus, penduduk lokal juga melakukan pembakaran untuk memprotes pengambilalihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit.

Lemahnya Pengawasan dan Longgarnya Peraturan

Operasional awal perusahaan untuk membuka lahan sangat bergantung pada izin yang diberikan. Tak jarang, perusahaan mengajukan izin untuk membuka lahan pada area yang rentan terjadi kebakaran misalnya lahan gambut. Gambut memiliki karakteristik mudah terbakar dan mampu menimbulkan api dalam kondisi kemarau panjang. Industri perkebunan yang dibangun di atas lahan gambut harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Ketidakmampuan perusahaan untuk menjaga konsesinya sangat berpengaruh terhadapa kebakaran hutan dan lahan. Tak jarang, ada oknum-oknum dari perusahaan yang juga berperan dalam pengelolaan lahan perusahaan. Hal ini dapat terjadi apabila konsesi tidak dijaga dan dikelola secara baik oleh perusahaan.

Pengawasan ketat oleh pemerintah terhadap operasional perusahaan mutlak dilakukan. Salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan. Pengawasan berkala dapat dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah dan Dinas Kehutanan dengan mengunjungi perusahaan. Instansi-instansi ini harus memiliki dokumen-dokumen lengkap terkait perusahaan yang beroperasi di wilayah administrasinya.

Misi ekonomi yang lebih besar untuk mendapatkan banyak keuntungan melalui industri perkebunan membuat beberapa korporasi tertentu tak kehabisan akal untuk lolos dari jeratan hukum. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 memberikan kelonggaran untuk membuka lahan dengan cara dibakar. Kelonggaran tersebut diberikan mengingat kearifan masyakarat lokal yang membuka lahan pertanian dan perkebunan dengan cara dibakar. Hal tersebut dimanfaatkan oleh korporasi tertentu untuk melakukan pembakaran.

Para mafia ini memanfaatkan keleluasaan yang diberikan oleh undang-undang kepada penduduk lokal. Mereka menerapkan sistem jual beli lahan kepada para penduduk lokal. Lahan yang dibersihkan dengan cara mekanis termasuk ditebas dinilai dengan harga yang lebih rendah dibandingkan lahan yang dibersihkan dengan  cara dibakar. Perbedaan nilai jual inilah yang membuat aktor-aktor yang diuntungkan berupaya agar kebakaran hutan dan lahan terus terjadi.

Penduduk lokal pun merasa tidak perlu khawatir karena merasa perbuatan mereka sudah ‘diizinkan’ oleh undang-undang. Penyiapan lahan dengan cara dibakar pun lebih menghemat banyak biaya dibandingkan melakukan pembersihan lahan dengan cara mekanis. Hal tersebut terus berlangsung dan terjadi karena pengungkapannya agak sulit untuk dilakukan. Para aktor pembakar lahan bersembunyi dibalik ‘keleluasaan’.

Penguatan Hukum

Beberapa lembaga pemerintah memiliki berbagai kebijakan tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran, tetapi kebijakan ini tidak terkoordinasi dengan baik dan umumnya tidak ditegakkan. Indonesia juga memiliki beragam peraturan perundang-undangan tentang lingkungan dan peraturan lainnya yang memberikan sanksi pelaku pembakaran hutan yang dilakukan secara sengaja. Namun demikian, berbagai undang-undang ini jarang ditegakkan.

Beberapa kelemahan pokok dalam pemadaman kebakaran hutan di Indonesia meliputi tumpang tindihnya fungsi di antara berbagai lembaga yang berbeda, wewenang dan tanggung jawab kelembagaan yang tidak jelas, mandat yang tidak memadai dan kemampuan kelembagaan lokal yang lemah.

Berbagai peraturan yang ada pun tidak serta merta dapat menertibkan dan membuat kebakaran hutan berhasil dibasmi. Kegagalan-kegagalan dalam penerapan peraturan diakibatkan oleh beberapa hal. Hal-hal tersebut meliputi kurangnya kemauan politik pada pihak penegak hukum, lemahnya akses terhadap data kebakaran bagi para penegak hukum, keterbatasan fasilitas dan peralatan untuk mendukung berbagai penyidikan di lapangan, perbedaan persepsi antara lembaga negara tentang bukti resmi yang memadai dari pembakaran yang disengaja, pemahaman yang kurang tentang berbagai peraturan resmi mengenai kejahatan perusahaan yang memberikan peluang bagi perusahaan untuk dituntut, lemahnya integritas para penegak hukum dan konflik kepentingan antara berbagai lembaga. Sebagian di antaranya ditugaskan untuk konservasi dan pemadaman kebakaran, sementara yang lainnya bertugas untuk mengembangkan industri perkebunan dan meningkatkan hasil pertanian.

Namun, tampaknya sanksi yang ada tidak membuat para perusahaan jera. Berbagai alasan mereka kemukakan untuk dapat selamat dari jeratan hukum. Bahkan mereka tak segan menyalahkan penduduk yang membakar lahan untuk keperluan pertanian. Padahal jika dikalkulasikan, jumlah kawasan yang dibakar penduduk tidak seberapa dibandingkan kawasan hutan yang dibakar perusahaan.  Seyogyanya pula, lahan pertanian yang dikelola secara turun temurun oleh penduduk lokal tidak menghasilkan kabut asap luar biasa yang bahkan sampai ke negara tetangga.

Untuk itulah, sanksi yang diberikan kepada para perusahaan yang melanggar ketentuan undang-undang harus benar-benar ditegakkan. Tidak ada lagi tawar menawar yang harus dilakukan. Penegakan hukum ini tidak hanya dilakukan untuk para perusahaan. Oknum yang meloloskan izin perusahaan untuk tetap melakukan pembukaan lahan dengan cara pembakaran juga harus ditindak. Para perusahaan tersebut tidak akan menemukan celah untuk melakukan penyelewengan apabila setiap aparat pemerintahan memiliki integritas.

Aparat penegak hukum harus benar-benar menelisik aktor di balik peristiwa kebakaran hutan. Apabila yang ditindak hanya perpanjangan tangan dari aktor tersebut, peristiwa berulang tentu mempunyai peluang yang lebih besar untuk terjadi. Pencerdasan masyakarat sebagai upaya pencegahan kebakaran hutan harus dilakukan secara komprehensif.

Tidak bisa dipungkiri, setiap manusia tentu bisa merasakan nikmat yang diberikan oleh kebaikan alam termasuk hutan. Udara yang segar dan kebutuhan akan air bersih serta bebas banjir adalah nikmat yang dapat dirasakan oleh setiap orang. Seyogyanya, sebagai salah satu bentuk rasa syukur kita kepada Tuhan yang telah memberikan nikmat yang luar biasa adalah dengan bersama-sama melestarikan dan menjaga setiap titipan yang diberikan.

Setiap pihak dapat berperan dalam upaya pemeliharaan hutan. Masyarakat dapat berperan serta dalam memantau dan melaporkan setiap kejadian kebakaran hutan kepada pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Perusahaan atau korporasi seharusnya tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata. Jika ingin dikalkulasikan secara lebih cermat, keuntungan yang didapat saat ini tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang yang diderita. Apa yang dilakukan sekarang akan berdampak pada generasi yang akan datang. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap profesional untuk menanggulangi terjadinya kebakaran hutan. Peristiwa kebakaran hutan sudah kerap kali terjadi. Tentu untuk menjadi bangsa yang besar kita harus banyak belajar dari pengalaman.

Referensi:

  1. Muhammad, F. and Rakhmah, A. 2018. KINERJA SEKTOR PERTANIAN INDONESIA PERIODE 2012 – 2016. [online] Available at: https://www.researchgate.net/publication/322298271 [Accessed 25 Sep. 2018].
  2. FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch
  3. Zainal. 2015. AKAR PERMASALAHAN KEBAKARAN HUTAN SERTA SOLUSI DALAM PENYELESAIANNYA (Studi Di Provinsi Riau). [online] Available at: https://www.researchgate.net/publication/ 323029696_AKAR_PERMASALAHAN [Accessed 25 Sep. 2018].

[/read]