Kebijakan publik adalah rangkaian pilihan-pilihan tindakan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan tertentu (William Dunn 1994).
Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Thomas R Dye 1981).
Forest policy is what governments choose to do or not do about forests within their jurisdiction (Society of American Foresters).
Kebijakan (publik) kehutanan adalah serangkaian tindakan pemerintah yang diformalkan dalam bidang kehutanan yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mandat pengelolaan dan pengurusan hutan di Indonesia memiliki tujuan menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional, mengoptimalkan aneka fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat, serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Dalam pengelolaan dan pengurusan hutan di Indonesia negara atau pemerintah memiliki:
- Fungsi alokasi
- Fungsi distribusi
- Fungsi produksi
- Fungsi stabilisasi
- Fungsi perlindungan
Pengelolaan dan pengurusan hutan oleh negara ini harus diawasi oleh berbagai pihak yang berkaitan dengan kehutanan sehingga analisis kebijakan mutlak untuk dipahami. Analisis kebijakan dalam dunia kehutanan ini penting karena luas kawasan hutan meliputi 70% luas daratan di Indonesia, hutan dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, banyak pengelolaan hutan yang diberikan kepada pihak swasta, sumber daya hutan selalu menjadi perebutan berbagai pemangku kepentingan, serta biaya pengelolaan hutan ditanggung oleh lokal atau nasional tetapi manfaatnya dirasakan dunia internasional.
1. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik
Fase | Karakteristik | Ilustrasi |
Penyusunan agenda | Para pihak yang berkepentingan menempatkan masalah pada agenda publik | Proses menyiapkan rancangan peraturan/ Perpu |
Formulasi kebijakan | Merumuskan alternatif kebijakan | Pembuat keoutusan menyadari akan perlunya perbaikan/ pembuatan kebijakan |
Adopsi kebijakan | Proses pengadopsian kebijakan oleh pemerintah (pusat dan daerah) | Pemerintah mempertimbangkann untuk implementasi kebijakan |
Implementasi kebijakan | Pemerintah meyakini dan menerapkan kebijakan | Pemerintah bersedia menyediakan sumberdaya (manusia dan dana) untuk implementasi |
Penilaian kebijakan | Proses penilaian apakah kebijakan dilaksanakan dan hasilnya sesuai tujuan | Masyarakat (kelompok sasaran) merasakan manfaat kebijakan |
Tahapan pembuatan kebijakan publik ini seringkali menyebabkan konflik-konflik. Menurut James Mayers dan Stephen Bass (2004), mendefinisikan kebijakan publik sebagai hasil keputusan formal dari perdebatan yang kompleks yang melibatkan berbagai kekuatan/kekuasaan yang berpengaruh. Hal-hal inilah yang menjadi selalu adanya konflik dalam perumusan kebijakan. Lebih rinci lagi, kebijakan publik dapat dipicu karena adanya konflik tujuan, konflik aktor, dan konflik paradigma.
Tahapan pembuatan kebijakan publik ini juga seringkali disebut dengan siklus kebijakan publik karena tahapan-tahapan pembuatannya membentuk model yang bersiklus.
[read more]
2. Analisis dan Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Analisis kebijakan publik ini menjadi suata hal yang cukup sulit karena kajiannya mencakup berbagai disiplin ilmu atau setidaknya dengan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebijakan yang akan dibuat. Berdasarkan hal itu, kebijakan sebagai ilmu bersifat interdisiplin bahkan intradisiplin.
Analisis kebijakan publik adalah kajian terhadap kebijakan publik yang bertujuan untuk mengintegrasikan dan mengkontekstualkan model dan riset dari disiplin-disiplin yang mengandung orientasi masalah dan kebijakan.
Lebih jauh lagi, analisis kebijakan adalah sub-bidang terapan yang isinya tidak dapat ditentukan berdasarkan disiplin yang terbatas, tetapi berdasarkan hal-hal yang tampaknya sesuai dengan situasu masalah (kontekstual) dan hakekat/ sifat dari persoalan (Wildavsky 1979).
Orientasi dari ilmu kebijakan publik sendiri memiliki sifat multi metode, multi disiplin, berfokus pada masalah, berkaitan dengan proses kebijakan dan hasil dari suatu kebijakan, serta bertujuan untuk memadukan pengetahuan ke dalam suatu disiplin yang menyeluruh untuk menganalisis pilihan publik dan pengambilan keputusan.
Dalam menganalisis suatu kebijakan maka biasanya diawali dengan adanya isu-isu yang berkembang di masyarakat. Isu-isu ini kemudian diangkat menjadi suatu masalah apabila memang isu yang ada di masyarakat layak untuk diangkat menjadi suatu masalah dalam masyarakat. Berdasarkan masalah yang diangkat itu kemudian analisis kebijakan mencari berbagai solusi yang seharusnya diterapkan.
Proses pembuatan kebijakan bukan hanya tentang menganalisis suatu masalah, melainkan juga menganalisis mengenai berbagai pilihan kebijakan atau solusi yang harus diambil dan analisis mengenai dampak apa yang akan terjadi akibat diterapkannya kebijakan publik yang baru.
Berdasarkan pendapat dari Gordon (1977), analisis kebijakan ini diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:
Jenis Analisis Kebijakan | Deskripsi |
Analisis determinasi kebijakan | Cara pembuatan, mengapa, kapan, untuk siapa suatu kebijakan itu dibuat |
Analisis isi kebijakan | Deskripsi isi, berkaitan dengan hubungan antar kebijakan, serta nilai kebijakan yang dikandung |
Monitoring dan evaluasi kebijakan | Menyangkut tentang kinerja dan dampak dari suatu kebijakan yang diterapkan |
Informasi untuk kebijakan | Analisis untuk memberi informasi bagi aktivitas pembuat kebijakan (memberikan saran-saran dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan) |
Advokasi kebijakan | Riset dan argumen untuk mempengaruhi agenda kebijakan |
3. Isu dalam Kebijakan Publik
Isu sejatinya bukan merupakan kabar burung, dalam konteks kebijakan isu merupakan awal dari adanya suatu rumusan pembuatan kebijakan, penghapusan kebijakan, ataupun perubahan dalam kebijakan publik.
Isu kebijakan umumnya muncul karena telah terjadi silang pendapat (biasanya dalam debat publik) di antara para tokoh (aktor) mengenai hal tertentu. Perdebatan tersebut biasanya mengenai rumusan, rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.
Munculnya isu kebijakan ini umumnya timbul karena telah terjadi konflik atau perbedaan persepsi di antara para aktor atas situasi permasalahan yang dihadapi masyarakat pada suatu waktu tertentu. Isu sendiri sejatinya bukan tentang adanya masalah atau ancaman, namun dengan adanya isu ini dapat membuat suatu kebijakan baru yang memang lebih layak untuk diterapkan karena memiliki kebermanfaatan yang sangat tinggi bagi masyarakat.
Menurut Dunn (1990) berdasarkan tingkat penting atau tidaknya suatu isu, isu diklasfikasikan menjadi isu utama, isu sekunder, isu fungsional, dan isu minor/marginal (isu pinggiran). Semakin tinggi peringkat suatu isu maka semakin mungkin diangkat menjadi suatu permasalahan dalam kebijakan publik yang nantinya akan dibahas dalam penyusunan agenda, hal tersebut karena isu tersebut memiliki posisi yang strategis secara politis.
Isu yang dapat diangkat menjadi suatu permasalahan kebijakan publik memiliki kriteria-kriteria tertentu, kriteria tersebut di antaranya:
- Isu telah mencapai titik kritis tertentu sehingga praktis tidak bisa diabaikan begitu saja (sederhananya isu merupakan suatu ancaman yang sangat serius sehingga apabila tidak ditangani dengan segera akan menimbulkan krisis yang lebih hebat).
- Isu telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak yang bersifat dramatis.
- Isu telah membangkitkan emosi tertentu dilihat dari kepentingan banyak orang dan mendapat dukungan peliputan media masa yang sangat luas.
- Isu yang mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.
- Isu yang menyangkut suatu persoalan yang sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya oleh masyarakat.
Namun meskipun kriteria di atas dapat terpenuhi, tetapi belum tentu juga suatu isu akan diangkat menjadi suatu persoalan dalam kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena pemutusan memasalahkan suatu isu adalah kepentingan bagi para agenda setters, apabila para penyusun agenda kebijakan tidak menganggap isu menjadi masalah maka isu tersebut hanyalah sebuah isu.
Adanya para penyusun agenda kebijakan ini merupakan produk akhir dari adanya distribusi kekuasaan. Distribusi kekuasaan ini menyebabkan suatu kalangan tertentu menempati tempat yang strategis sebagai penyusun agenda kebijakan.
Penyusun agenda kebijakan dalam menentukan isu menjadi suatu masalah kebijakan sangat dipengaruhi oleh:
- Organisasi atau kelompok-kelompok kepentingan
- Kelompok pemrotes
- Tokoh parta politik
- Para pejabat senior
- Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat
Dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan, seringkali isu yang terjadi terbenam begitu saja. Misalkan isu mengenai bencana alam seperti banjir, longsor, dan lain halnya menjadi angin lalu saja. Hal lainnya misalkan illegal logging lebih menjadi sorotan daripada illegal mining, padahal sudah jelas illegal mining lebih merusak lingkungan daripada illegal logging.
Hal-hal tersebut terjadi karena isu lingkungan fenomenanya sering terjadi sehingga dianggap menjadi suatu hal yang biasa dan menjadikan bobot urgensinya sangat minim. Isu-isu lingkungan pun dianggap sangat kompleks yang menyangkut banyak pihak sehingga sangat sulit untuk mencari pihak yang dipersalahkan. Di sisi lain isu yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kehutanan terkait erat dengan fenomena alam yang di luar kontrol manusia sehingga isu tersebut harus diterima apa adanya (pasrah).
4. Analisis Masalah dalam Analisis Kebijakan
Analisis masalah ini sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan. Ketika pembuat kebijakan salah menentukan masalah maka pembuat kebijakan tersebut akan membuat suatu solusi (kebijakan) yang mengatasi masalah yang salah dan pada akhirnya kebijakan yang dibuat tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
Sebagai contoh di Jakarta banyak gelandangan yang hidup di sana, kemudian pemerintah provinsi DKI Jakarta membangun rumah susun untuk para gelandangan tersebut. Namun dengan dibangunnya rumah susun tersebut ternyata tidak mengurangi angka gelandangan secara signifikan di DKI Jakarta.
Berdasarkan kasus di atas, sebenarnya memang masalahnya bukan tentang apakah gelandangan tersebut mempunyai rumah atau tidak di Jakarta, tetapi mereka sebenarnya memiliki rumah namun tidak berada di wilayah Jakarta. Tentu saja dengan contoh pembuatan kebijakan di atas tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya terjadi. Kasus di atas merupakan contoh dari kesalahan dari mengambil suatu masalah untuk dibahas dalam pembuatan suatu kebijakan publik.
4.1 Menganalisis Masalah
Hal utama dalam menganalisis masalah adalah apa yang dianggap sebuah masalah dan bagaimana masalah itu didefinisikan. Hal yang dianggap masalah dan pendefinisian masalah bergantung pada cara pembuat kebijakan menangani isu atau kejadian.
“Siapa yang pertama kali mendefinisikan masalah sosial, dia akan membentuk terminologi awal di mana persoalan itu akan diperdebatkan” -Jones (1971).
Fakta-fakta masalah yang pada dasarnya adalah sekumpulan nilai sebenarnya di masyarakat tidak pernah berbicara sendiri, oleh sebab itu dalam pencarian fakta-fakta masalah diperlukan seorang penafsir (bisa para ahli, lembaga yang kompeten, media, dll).
Sebuah masalah agar dapat dibahas dalam perumusan pembuatan kebijakan perlu didefinisikan, distrukturisasi, diletakkan dalam batas-batas tertentu, dan diberi nama. Masalah sangat berkaitan dengan persepsi dan persepsi sangat erat kaitannya dengan konstruksi.
Pendekatan masalah sosial ini secara umum dibedakan menjadi:
Jenis Pendekatan Masalah | Uraian |
Positivisme/ Fungsionalisme |
|
Fenomenologi/ Konstruktivisme |
|
4.2 Media dan Konstruksi Masalah
Peran media dalam pembuatan agenda merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam konstruksi masalah.
Menurut Wikins (1964), dari perspektif pendekatan konstruktivis dampak media terhadap masalah sosial adalah aspek kunci dari proses labelling karena media dapat menambah sensitivitas dan memperkuat sesuatu yang dilabeli sebagai masalah.
Menurut ahli yang lain, berpendapat bahwa media massa dapat membesar-besarkan insiden kecil sedemikian rupa sehingga menjadikan peristiwa kecil menjadi problem sosial besar. Media massa sesungguhnya menciptakan masalah, mendistorsi isu, mereka-reka, menciptakan ancaman stereotif, dan pada akhirnya memengaruhi masyarakat luas “opini publik”.
Secara sederhana media mempunyai kapasitas untuk membuat suatu isu menjadi perhatian utama publik sehingga media sebagai salah satu agenda setter.
Konsep dari pengaruh media dalam membangun opini publik digambarkan dalam ilustrasi berikut.
Hal-hal mengenai kebijakan publik ini harus dipahami dan diresapi oleh para rimbawan di Indonesia, sebab kebijakan merupakan salah satu hal yang paling utama dalam pengelolaan dan pengurusan hutan di Indonesia. Apabila kebijakan publik mengenai kehutanan yang menjadi dasar pengelolaan dan pengurusan hutan sudah tidak benar maka hal ini harus segera diperbaiki oleh kita, siapapun itu.
Pada akhirnya kebijakan publik ini harus dipahami oleh masyarakat luas, agar isu-isu yang menjadi masalah sebenarnya di masyarakat bisa diangkat menjadi suatu masalah untuk nantinya dibuat solusinya dalam bentuk kebijakan publik.
Silakan bagikan tulisan ini apabila sekiranya bermanfaat dan jangan lupa untuk berkomentar apabila ada hal-hal yang perlu didiskusikan.
Referensi:
Bahan Kuliah Analisis Kebijakan Kehutanan. Iin Ichwandi. Analisis dan Perumusan Kebijakan Publik.
[/read]