Hutan dan Lahan Gambut : Berbagai Manfaat dan Jasa Lingkungan yang Wajib Dilestarikan

Kebakaran hutan dan lahan gambut yang menjadi suatu tragedi luar biasa bagi bangsa Indonesia merupakan kejadian yang harus kita maknai untuk selalu meningkatkan kepedulian kita terhadap lingkungan.

Kebakaran ini menyebabkan berbagai macam kerusakan dan kerugian bagi berbagai pihak.

Hilangnya berbagai jenis spesies flora dan fauna, polusi udara, dan ketegangan dengan negara tetangga merupakan salah satu dampak negatif dari kejadian ini. Lantas sebenarnya apa itu hutan dan lahan gambut?

Hutan dan Lahan Gambut

Menurut Wikipedia (2016) tanah gambut atau peatland adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk.

Menurut Jurnal Bumi (2016) tanah gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari vegetasi pepohonan yang mengalami dekomposisi tidak sempurna digenangi air sehingga kondisinya anaerobik.

Lebih rinci lagi Agus dan Subiksa (2008) menerangkan bahwa lapisan-lapisan tanah gambut terbentuk dalam jangka waktu yang panjang, yaitu sekitar sepuluh ribu sampai lima ribu tahun yang lalu. Semakin dalam tanah gambut semakin tua umurnya.

Laju pertumbuhan tanah gambut berkisar 0-3 mm per tahun. Kandungan bahan organik dalam tanah gambut lebih dari 40% dari total komposisi tanah.

Tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan air hingga 13 kali dari bobotnya.

Oleh karena itu sangat penting dalam hidrologi, seperti mengendalikan banjir saat musim penghujan dan mengeluarkan cadangan air saat kemarau panjang. Hutan gambut mempunyai kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Karbon tersimpan mulai dari permukaan hingga di dalam tanah.

Tebal tanah gambut ini bisa mencapai 10 meter (Jurnal Bumi 2016). Tanah gambut menyimpan 550 G Ton karbon, jumlah tersebut setara dengan 75% karbon yang ada di atmosfer, dua kali jumlah karbon yang dikandung seluruh hutan non-gambut dan sama dengan jumlah karbon dari seluruh biomassa yang ada di bumi (Joosten 2007 dalam Agus dan Subiksa 2008).

Kandungan karbon ini dapat terpancarkan ke atmosfer melalui konversi lahan gambut, mulai dari pembabatan vegetasi, kebakaran hutan, hingga proses dekomposisi gambut akibat kegiatan pertanian.

[read more]

Penyebaran Hutan dan Lahan Gambut

Setengah dari luas lahan basah di bumi ini berupa lahan gambut. Proporsinya mencapai tiga persen dari total daratan yang ada. Lahan gambut menyimpan cadangan karbon dua kali lebih besar dari semua hutan yang ada.

Lahan gambut bisa ditemukan hampir di semua negara, mulai dari iklim kutub, sub tropis, hingga tropis.

Hutan gambut terluas ada di Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat. Asia Tenggara merupakan tempat lahan gambut tropis terluas, sekitar enam puluh persen gambut tropis atau sekitar 27 juta hektar terletak di kawasan ini.

Sekitar 83% lahan gambut di Asia Tenggara masuk dalam wilayah Indonesia yang sebagian besar tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan gambut di Indonesia mempunyai ketebalan satu hingga dua belas meter, bahkan di tempat tertentu bisa mencapai dua puluh meter (Wetlands 2016).

Sebaran, Luas, dan Kandungan Karbon pada Lahan Gambut di Pulau Sumatera

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 18,8 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan di Indonesia. Lahan gambut di Indonesia didominasi di Pulau Sumatera, yaitu sekitar 7,2 hektar atau 35% dari seluruh luas tanah gambut di Indonesia.

Keanekaragaman Hayati Ekosistem Gambut

 

Orang Utan sebagai Salah Satu Keanekaragaman Hayati di Indonesia

Hutan merupakan rumah bagi berbagai jenis flora dan fauna, begitu pun hutan gambut. Beberapa flora yang ditemukan di lahan gambut termasuk dalam kelompok flora endemik dan memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti Ramin (Gonystylus bancanus) dan Jelutung Rawa (Dyera costulata) (Rizali dan Buchori 2015).

Sebanyak 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, dan 34 spesies ikan ditemukan di lahan gambut. Beberapa fauna merupakan spesies endemik dan termasuk spesies dilindungi menurut IUCN Red List 2012, yaitu di antaranya Buaya Sinyulong, Langur, Orang Utan, Harimau Sumatera, dan Beruang Madu. (WWF 2009).

Daftar Spesies Flora Endemik yang Hidup pada Habitat Gambut

Kerusakan Ekosistem Gambut

Kerusakan lahan gambut banyak terjadi karena aktivitas manusia, misalnya konversi hutan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Lahan gambut di Asia Tenggara termasuk Indonesia mengalami laju kerusakan tertinggi.

Kerusakan terbesar diakibatkan oleh konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pulp (Jurnal Bumi 2016).

Reklamasi dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut merupakan hal yang sukar dilakukan karena mengingat hutan dan lahan gambut terbentuk dalam kurun waktu yang sangat lama. Upaya preventif merupakan satu-satunya cara untuk melestarikan hutan dan lahan gambut.

Hutan dan Lahan Gambut yang Terbakar

Realita yang terjadi di Indonesia, hutan dan lahan gambut yang tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada masyarakat sekitar membuat mereka rela mengonversi hutan dan lahan gambut untuk keperluan lain.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konversi hutan dan lahan gambut paling sering digunakan untuk kebun kelapa sawit dan pulp. Sayangnya konversi lahan ini banyak didalangi oleh pihak asing yang mengatur berbagai stakeholder kehutanan di daerah yang akan dikonversi.

Paradigma yang mendasar dari masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut harus segera diperbarui karena pola pikir inilah yang menyebabkan berbagai kerusakan.

Orang-orang yang memiliki tanggung jawab di sektor kehutanan dan lingkungan hidup bisa memberikan edukasi dan mencari solusi bagi sejahternya masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut tanpa harus merusak hutan itu sendiri.

Penegakan hukum pun wajib secara tegas ditegakkan karena peraturan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut telah dibuat pada tahun 2014, peraturan tersebut terdapat pada PP Nomor 71 Tahun 2014.

Akhir kata, kita tidak bisa selalu melimpahkan tanggung jawab lingkungan kita kepada orang lain ataupun pemerintah.

Memang benar ada orang yang lebih bertanggung jawab daripada kita, tetapi untuk membangun dan melestarikan alam sebagai tempat hidup kita itu adalah tanggung jawab kita semua.

Lakukan hal yang sederhana di sekitarmu, ajak orang di sekelilingmu untuk mencintai lingkungan, dan suarakan kebaikanmu. Bukankah alam diciptakan dan dititipkan Tuhan kepada umat manusia untuk dijaga, bukan kepada sabagian umat manusia?

 

Referensi:

Redaksi Forester Act !

[/read]