FPCI PUBLIC DISCUSSION – INDONESIAN CLIMATE POLICY OUTLOOK 2023

Pada tanggal 23 Februari 2023, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyelenggarakan diskusi publik  di Bengkel Diplomasi FPCI. Tema utama yang diangkat dalam diskusi tersebut adalah “Indonesian Climate Policy Outlook 2023”.

Tujuan FPCI Public Discussion dan Daftar Panelis

Diskusi-FPCI-narasumber

Tujuan diskusi ini adalah mendapatkan informasi dan analisis terkini dari para ahli iklim dan pembuat kebijakan mengenai isu prioritas dan arah kebijakan iklim Indonesia pada tahun 2023, beserta tantangan-tantangan yang dihadapi.

Selain itu, harapan lainnya dengan diadakan kegiatan tersebut adalah menggali lebih dalam tren komitmen Indonesia untuk dapat mencapai target net-zero emissions yang lebih cepat, yaitu di tahun 2050, sesuai dengan Perjanjian Paris (Paris Agreement).

Panelis yang berpartisipasi dalam diskusi publik ini, yaitu:

  1. Dr. Dino Patti Djalal, Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI)
  2. Mercy Chriesty Barends, S.T., Anggota Komisi VII & Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI
  3. Kuki Soejachmoen, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID)
  4. Arief Wijaya, Direktur Program World Resources Institute (WRI) Indonesia
  5. Agus Sari, Chief Executive Officer Landscape Indonesia & Lead Author IPCC

Sementara itu, moderator dalam diskusi publik tersebut adalah Esther N.S. Tamara, Direktur FPCI Climate Unit.

Poin-poin Penting yang Disampaikan Panelis

Diskusi-FPCI-penutupan

Berikut  ini pembahasan penting yang disampaikan oleh para panelis dalam menganalisis outlook kebijakan iklim Indonesia di tahun 2023, yaitu:

1. Dr. Dino Patti Djalal, Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI)

Kebijakan Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih sangat kurang dan bahkan masih overshoot dari batas pemanasan global 1.5 derajat Celcius, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah melibatkan climate goals dalam peraturan-peraturan hukum di negara-negaranya.

Oleh karena itu, untuk menjaga kenaikan suhu global di 1.5 derajat Celcius, target net-zero emissions (nol emisi bersih) Indonesia harus dicapai di tahun 2050, bukan 2060 yang merupakan target nasional sekarang.

Mengenai Implikasi Tren Regulasi dan Insentif (CBAM, EU Deforestation Law)

Yang paling penting adalah we have to play the game. Dalam arti — saya tahu kita agak sensitif melihat CBAM, sebagai contoh, di Uni Eropa. Kita mungkin memandang bahwa kebijakan ini diskriminatif. But if you want to make that money, if you want to penetrate that market, you play the game.

Uni Eropa juga mengeluarkan deforestation law yang mengharuskan produk-produk untuk diverifikasi bahwa produk tersebut tidak ada tracing dari deforestasi. We may not like it, but if everybody else is playing that game and wanting to penetrate the market that way, we have to play. Otherwise, we are left out of the market. So we have to be quite realistic.

Lessons Learned dari Vietnam dalam Menyikapi Regulasi Perdagangan

Vietnamese are playing it really smart, for example. Mereka melihat tren ini dan mereka membuat perusahaan VinFast yang memproduksi electric car dari Vietnam. Standar emisi yang mereka buat dari electric car tersebut mengikuti standar emisi Eropa, sehingga mereka bisa ekspor ke Eropa.

Sedangkan yang Indonesia punya belum bisa ekspor ke Eropa, right? So we have to be just smart about this and stop being nationalistic. That would turn our policy in a different direction.

Mengenai Keterkaitan antara Momentum Pemilu dan Pendanaan dari Industri Batu Bara

Akan ada pembangkit listrik batu bara baru dan kita menghadapi kenyataan tahun ini bahwa ada banyak “coal money” [uang batu bara], banyak orang kaya semakin kaya karena harga batu bara naik. Artinya, coal money kemungkinan besar akan mendominasi pembiayaan pemilu.

Dan yang membuat saya khawatir adalah, okay itu kenyataannya dan tidak ada aturan tentang itu, tapi bagaimana kita memastikan calon presiden akan membuat posisi iklimnya bersih tanpa terpengaruh oleh berapa besar uang batu bara yang mereka dapatkan. Bagi saya, itulah pertanyaan politik terbesar

Dr. Dino Patti Djalal selaku Ketua dari FPCI menegaskan bahwa terlepas dari kepastian politik menuju Pemilu 2024, FPCI mengimbau agar para kandidat politik di masa depan untuk menaruh perhatian dan mengusung isu perubahan iklim sebagai isu prioritas.

 

2. Mercy Chriesty Barends, Anggota Komisi VII dan Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI

Ibu Mercy menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah Indonesia terutama pihak DPR RI bergerak aktif dalam membantu Indonesia untuk segera mencapai climate goals.

Beberapa hal yang sedang menjadi pembahasan utama oleh DPR diantaranya adalah RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang dibahas oleh Komisi VII yang berkaitan dengan Energi, Riset dan Inovasi, dan Industri.

Berkaitan dengan subsidi energi terhadap bahan bakar fosil, Ibu Mercy menyampaikan bahwa pengurangan subsidi energi tersebut akan terus berkurang namun secara bertahap dikarenakan perlunya mempertimbangkan transisi energi yang adil terutama contohnya untuk wilayah dan daerah yang tergolong 3T.

Bersamaan dengan transisi energi yang adil, beliau turut menyampaikan pentingnya peningkatan kapasitas para pekerja yang saat ini bekerja di sektor energi fosil sehingga kemudian para pekerja ini dapat turut berpartisipasi dalam green jobs.

Mengenai Agenda Transisi Energi dalam Konteks Penanganan Krisis Iklim

Dalam agenda transisi energi, sebuah lompatan yang baik sekali bahwa kemarin Pak Menteri ESDM telah menyepakati untuk melakukan perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik, dan telah memverifikasi 42 perusahaan PLTU batu bara dengan kapasitas 100 MW.

Mengenai Subsidi Fossil Fuels yang Mengambil 8 – 9% Dana APBN

Merupakan PR besar bagi kita ketika kita melakukan green development namun di lain sisi masih ada masalah subsidi sumber energi fossil tetap dilakukan – jadinya useless dan tidak ada artinya. Harusnya berjalan dengan parallel (green development dan berhenti mensubsidi fossil fuels).

Subsidi energi kedepannya akan diturunkan dan kita sudah melakukan pemangkasan agar masuk lebih ke cleaner energy, meskipun tidak 100% clean.

Mengenai Bahasan Iklim di Diskursus Politik

Sistem politik kita sekarang pada dasarnya adalah sistem politik dengan suara terbanyak. Dari sini, membuka ruang untuk kompetisi bebas – siapa yang memiliki kapital, dan lain-lain, karena pragmatisme dan transaksionalisme pasti terjadi di politik.

Kalau dulu, kapitalis-kapitalis ini  masih konvensional dan tawar menawar dengan APBN atau APBD. Kalau sekarang? Tawar menawarnya dengan sumber daya alam kita.

Oleh karenanya, civic education dan voter education penting bagi masyarakat  untuk dapat mengusung para kandidat-kandidat yang maju dengan pendekatan ekonomi berkelanjutan (sustainable).

Artinya, lingkungan terjaga, masyarakat terjamin ekonominya. Dalam partai politik pun pendidikan politik bagi para kandidat penting sehingga bisa mengusung isu-isu yang tidak pragmatis saja (misalkan keberlanjutan dan lingkungan).

3. Ibu Kuki Soejachmoen, Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Decarbonization (IRID)

Ibu Kuki menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia akan mengurangi emisi karbon sebanyak 12.5% (setara dengan 358 juta ton CO2) tahun 2030 apabila dilakukan secara mandiri dan 15% (546 juta ton CO2) apabila disertai dengan dukungan dari komunitas internasional.

Pernyataan ini tertera dalam Nationally Determined Contributions (NDCs) yang secara singkat merupakan dokumen pernyataan resmi terkait komitmen kontribusi negara-negara seluruh dunia dalam pengurangan jumlah emisi karbon.

Di sisi lain beliau juga menggarisbawahi bahwa kebutuhan listrik di Indonesia akan terus meningkat sehingga, diperlukan keselarasan antara mengurangi emisi karbon dan memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.

Di sektor energi, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan target net-zero emission di tahun 2060 yang juga sudah ada roadmap-nya. Apabila kita melihat roadmap tersebut, retirement PLTU batubara direncanakan hanya berdasarkan masa operasi sampai akhir usia penggunaan.

Tantangannya sekarang, apabila rencana tersebut berjalan dan bersamaan dengan rencana yang ada bahwa PLTU terakhir akan masuk ke system grid kita sebelum atau di tahun 2030, maka kita baru akan berhenti menggunakan PLTU dalam sistem listrik kita di tahun 2060. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah itu hal yang kita inginkan? Oleh karena itu, JETP harus dikejar.

Indonesia termasuk salah satu negara yang meng-endorse Global Coal to Clean Power statement.  Namun Indonesia memberi catatan pada satu klausa yang mengatakan bahwa tidak ada lagi batu bara di tahun 2040, bahwa Indonesia akan melakukannya jika ada support.

Nah, sekarang sudah ada supportnya dengan adanya Just Energy Transition Partnership (JETP).

Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana bisa mencapai target 2040 itu? Yang ada didepan mata adalah: untuk PLTU batu bara yang umurnya sudah tidak lama lagi dan tidak efisien, bisakah dipensiunkan lebih cepat?

Jadi tidak akan ada komplikasi dengan kontrak-kontrak negara. Ini adalah bagian yang bisa ditanggapi melalui JETP.

4. Arief Wijaya, Direktur Program World Resources Institute (WRI) Indonesia

Bapak Arief menyampaikan bahwa hutan merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Pemerintah Indonesia selama 6 tahun berturut-turut berhasil mengurangi deforestasi sehingga dapat dikatakan bahwasanya sektor kehutanan saat ini sudah on-track dalam membantu pemerintah Indonesia mencapai climate goals-nya.

Target pengurangan emisi karbon ini menurut beliau juga sangat ambisius dikarenakan dari 95 juta hektar hutan Indonesia sendiri, 50% nya sudah terdegradasi. Di sisi lain, semenjak tahun 1970 hingga saat ini, Indonesia masih dikategorikan sebagai negara ekonomi berbasis sumber daya alam sehingga diperlukan komitmen yang kuat dalam mengubah model ekonomi nasional.

Sementara berkaitan dengan deforestasi, beliau juga menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia pun tidak pernah menyatakan komitmen 0% deforestasi di tahun 2030 sehingga fakta bahwa keberhasilan mengurangi deforestasi sebanyak 100.000 hektar per tahun merupakan sebuah pencapaian yang besar.

Mengenai Kenaikan Angka Deforestasi di Tengah Momentum Pemilu/ Pilkada

Dalam 6 tahun terakhir, saya pikir untuk sektor kehutanan sudah cukup on the track. Tetapi yang perlu juga diperhatikan adalah kondisi di tahun 2024, tahun politik nanti. Analisis dari beberapa lembaga riset menyebutkan adanya kecenderungan di Indonesia ketika atau setelah tahun Pilkada/Pemilu biasanya deforestasi akan mengalami peningkatan.

Kepentingan politik Pilkada terkait dengan janji-janji politik Calon Kepala Daerah tidak dapat dilepaskan. Di masa lampau, umumnya, ketika mereka terpilih, pemberian izin berusaha direalisasikan dan berakibat pada kenaikan laju kerusakan hutan.

Mengenai Signifikansi Restorasi dan Rehabilitasi Hutan

Pemerintah telah berkomitmen untuk menekan angka deforestasi serendah mungkin. Tetapi, ini harus dibarengi dengan percepatan upaya rehabilitasi lahan dan restorasi. Saat ini, restorasi yang terjadi kira-kira hanya sekitar 3-5% angka deforestasi tahunan.

Harapannya nanti, emisi dari deforestasi dan degradasi hutan akan terkompensasi dengan reforestasi dan rehabilitasi lahan yang dipercepat.”

5. Agus Sari, CEO LandscapeIndonesia

Dalam kesempatan ini, beliau menyoroti pentingnya pendanaan dalam mendorong percepatan transisi energi Indonesia. Layaknya transisi kebijakan pada umumnya, transisi menuju energi bersih, tentu saja terdapat konsekuensi ekonomi yang salah satunya adalah stranded assets atau aset mangkrak dari PLTU sendiri.

PLTU sebagai aset merupakan sesuatu yang sangat dilematis dikarenakan biaya operasional PLTU yang tinggi sementara pemberhentian operasional PLTU pun juga tinggi.

Hasil riset-riset terbaru di bidang energi telah menyatakan bahwa energi surya merupakan energi termurah sehingga pada dasarnya, keputusan Pemerintah Indonesia untuk bertransisi ke ekonomi hijau merupakan keputusan yang logis dan masuk akal.

Transisi ekonomi hijau dapat menciptakan green jobs dan di sisi lain juga menurunkan pengeluaran per rumah tangga masyarakat sehingga masyarakat mampu memiliki tabungan yang lebih banyak juga.

Opportunities dari Transisi Energi Bersih Bagi Ekonomi Indonesia

It actually makes a lot of economic sense to move into sustainable energy. Manfaatnya adalah pertama, economic growth kita akan lebih tinggi bila kita transisi net-zero 2030. Makin cepat makin baik, karena akan membuat banyak sekali green jobs. Net job creation-nya itu sangat positif.

Kita akan menambah saving, household savings. Jadi pendapatan rumah tangga yang didapat akan lebih banyak, dan itu akan diputar lagi jadi investasi. Transisi energi itu positif untuk ekonomi Indonesia dan masyarakat Indonesia.

Menanggapi Fakta Bahwa Banyaknya Pembuat Undang-Undang yang Merupakan Pengusaha Batu Bara dan Tambang

Diskusi-FPCI

Bagaimana undang-undang dibuat oleh orang-orang yang memiliki kepentingan itu [pengusaha batu bara]? Banyak pengusaha batu bara yang juga pengusaha sawit, pengusaha sawit juga pengusaha batu bara.

This is the situation we are in. Situasi ini hanya bisa dibongkar melalui political willingness. Jadi ini bukan masalah ekonomi atau masalah kebijakan. Ini masalah politik harus diselesaikan secara politik.

Tanggapan Terhadap Rencana Pembangunan 100 Power Plants

Diskusi-FPCI---tanya-jawab

Sebetulnya justru kalau kita mau menghindari future emissions, yang paling mudah dilakukan ya sebetulnya tidak membangun PLTU. Sekitar 100-an power plants yang kita masih direncanakan untuk dibangun. Jadi ada yang mungkin bisa dilakukan JETP, yaitu menegosiasikan kembali yang katanya konon sudah ditandatangani dan pemerintah tidak bisa mundur.

Bisa dilakukan renegosiasi – berapa liability yang mungkin muncul? Berapa dendanya kalau kita membatalkan perjanjian itu? Langkah itu jauh lebih mudah daripada menutup apa yang sudah berjalan sekarang.