Energi Hijau Sebagai Energi Potensial di Masa Mendatang

Indonesia mengalami ancaman defisit energi karena saat ini konsumsi energi sudah lebih besar dari produksi. Bahkan pada 2040 defisit energi diperkirakan bisa mencapai US$ 80 miliar (dilansir dari laman cnbcindonesia.com, 29/8/2020).

Cadangan migas RI saat ini hanya 2,5 miliar atau sekitar 8,7 tahun. Konsumsi minyak mencapai 1,7 juta barel/ hari, sementara produksi 781 ribu barel/ hari. Sedangkan cadangan batu bara di RI hanya 3,7 % dari cadangan dunia, tapi seperempat dari ekspor batu bara dunia atau 26% berasal dari Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia harus didorong untuk melaksanakan revolusi di bidang energi terbarukan guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil serta untuk investasi di masa mendatang.

Ilustrasi energi yang semakin habis (pixabay.com)

Jika Indonesia tidak mampu mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk pembenahan kebijakan harga BBM, proses keterpurukan di bidang industri migas nasional akan terus berlanjut.

Hal itu akan membuat Indonesia terperangkap dalam jebakan krisis energi yang berkepanjangan yang akan mengancam pertumbuhan ekonomi dan membahayakan ketahanan nasional.

Di lain hal, menurut sumber British Petroleum & Gapminder, hasil pembakaran bahan bakar fosil merupakan salah satu sumber utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Indonesia menempati peringkat ke-14 dalam hal konsumsi bahan bakar fosil. Konsumsi tersebut berasal dari sektor pembangkitan listrik dan industri yang memiliki tingkat emisi GRK besar dan signifikan dalam bauran emisi nasional.

Hal tersebut kontradiktif dari komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% pada tahun 2030 serta menargetkan sektor energi dapat berkontribusi dalam pengurangan emisi sebesar 11% atau sebanyak 314 juta ton CO2.

Maka dari itu, sudah saatnya Indonesia harus bergegas transisi ke energi terbarukan, meninggalkan energi fosil yang bisa memperparah krisis iklim, merusak lingkungan juga membebani anggaran belanja negara.

[read more]

Energi Baru Terbarukan Belum Menjadi Prioritas

Pelaksanaan kebijakan energi nasional Indonesia memiliki dua tujuan. Pertama, memaksimalkan energi dari energi terbarukan. Kedua, meminimalkan energi dari minyak bumi atau energi fosil.

Maka dari itu, pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) telah menjadi salah satu program jangka panjang yang tengah fokus dilaksanakan pemerintah.

Hal tersebut terefleksikan dengan target bauran EBT sebesar 23 persen terhadap energi nasional pada 2025, sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Kendati demikian, sampai saat ini pemerintah masih belum memprioritaskan pengembangan EBT. Hal tersebut tercerminkan dengan masih rendahnya tingkat bauran energi pembangkit listrik yang bersumber dari EBT.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi  (EBTKE) seperti dikutip dari laman ebtke.esdm.go.id (5/3/2020), di tahun 2019 posisi EBT sebesar 9,15%, minyak bumi 38,8%, batubara 33% dan gas bumi 19,7%.

Pada dasarnya pemerintah memiliki anggaran untuk membangun infrastruktur energi. Namun pembangunan lebih banyak dilakukan untuk membangun infrastruktur migas. Hal tersebut membuktikan belum cukup seriusnya pemerintah membangun energi terbarukan.

Energi terbarukan seharusnya jadi prioritas.

Apalagi Indonesia sejatinya punya potensi energi terbarukan luar biasa yang memanfaatkan siklus alam sebagai sumber energinya, seperti air, angin, arus laut dan panas bumi.

Berbagai sumber energi baru tersebut akan menjadi pilihan produktif di masa depan untuk mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil.

Namun sumber energi terbarukan harus mempertimbangkan aspek ekonomi, teknologi, sosial-budaya, dan juga lingkungan hidup agar dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Sejalan dengan apa yang dinyatakan James Canton dalam bukunya The Extreme Future (2009) bahwa ada enam syarat bagi sumber-sumber energi masa depan yang akan mengakhiri kebiasaan kita memakai minyak bumi dan akan melestarikan bumi agar tetap layak dihuni. Sumber-sumber energi baru harus “berlimpah, andal, terbarukan, bersih, terjangkau, aman.

Potensi Energi Hijau

Biofuel (pinterest.com)

Jika dilihat dari kondisi geografisnya, Indonesia merupakan negara yang paling kaya dengan energi hijau. Energi hijau adalah energi yang berasal dari tanaman hidup (biomassa) yang terdapat di sekitar kita.

Energi itu biasa disebut sebagai bahan bakar hayati atau biofuel. Potensi biomassa dapat bersumber tanaman perkebunan atau pertanian, hutan, peternakan atau bahkan sampah.

Energi ini tidak akan pernah habis selama tersedia tanah, air, dan matahari yang masih memancarkan sinarnya ke muka bumi. Juga selama kita mau menanam, membudidayakan, serta mengolahnya menjadi produk bermanfaat seperti bahan bakar.

Menurut data Kepala Subdit Penyiapan Program Bioenergi, Trois Dilisusendi, dikutip dari laman ebtke.esdm.go.id (5/3/2020), potensi biomassa atau bioenergi yang dimiliki Indonesia sebenarnya sangat besar yaitu 442 GW, tetapi pemanfaatannya baru 99,4 GW atau sekitar 2%.

Karena sifatnya yang berlimpah, sumber energi terbarukan ini tidak saja mudah ditemukan, tetapi juga karena variannya yang beraneka ragam.

Kita memiliki minimal 62 jenis tanaman bahan baku biofuel yang tersebar secara spesifik di seluruh pelosok Nusantara (dikutip dari laman nasional.kompas.com, 30/8/2020).

Kelapa sawit tumbuh di wilayah basah dengan curah hujan tinggi. Selain itu, ada tanaman tebu yang menghendaki beda musim yang tegas antara hujan dan kemarau.

Singkong (pinterest.com)

Singkong mampu berproduksi baik di lingkungan sub-optimal dan toleran pada tanah dengan tingkat kesuburan rendah. Jarak pagar mampu berproduksi optimal di daerah terik dan gersang.

Kelapa terdapat di pantai-pantai, bahkan di pulau- pulau terpencil. Ditambah tanaman lainnya, seperti sagu, nipah, nyamplung, bahkan limbah-limbah pertanian, seperti sekam padi, ampas tebu, tongkol jagung, dan biji-bijian sangat mudah didapatkan di Indonesia.

Ini menunjukkan ada banyak pilihan untuk memproduksi biofuel di seluruh Indonesia sesuai karakter daerah, sifat lahan, kekayaan sumber energi hijau setempat, dan penguasaan ilmu.

Teknologi yang digunakan dalam mengonversi biomassa menjadi energi yang paling populer dilakukan, yaitu pembakaran langsung (direct combustion), pembuatan gas biomassa, dan konversi menjadi bahan bakar cair.

Mengonversi biomassa menjadi bahan bakar cair dalam bentuk bioetanol dan biodiesel adalah cara yang paling dianggap populer.

Bioetanol adalah alkohol yang dibuat dengan fermentasi biomassa, terutama bahan berpati, seperti singkong, biji jagung, biji sorgum, sagu, gandum, dan kentang, serta bahan bergula seperti tetes tebu, nira kelapa, dan batang sorgum manis.

Biodiesel adalah ester yang dibuat menggunakan minyak tanaman, lemak binatang, ganggang, atau minyak goreng bekas melalui proses esterifikasi.

Kedua produk biofuel ini paling sering digunakan sebagai aditif bahan bakar untuk mengurangi emisi karbon monoksida (CO) dan asap lainnya dari kendaraan bermotor.

Secara ekonomis, kedua produk ini lebih murah dibanding BBM. Bandingkan, biaya produksi bioetanol per liter hanya Rp 2.400, jauh lebih murah daripada harga bensin saat ini yang Rp 6.500 per liter.

Melihat potensi biomassa yang cukup melimpah di Indonesia dan teknologi pemanfaatannya yang berkembang sangat cepat, serta tren keekonomiannya, energi hijau atau “green energy” merupakan alternatif terbaik dalam mengatasi krisis energi di Indonesia. Di samping itu energi hijau juga mampu menekan dampak polusi dan lebih aman bagi lingkungan.

 

Editor:
Mega Dinda Larasati

[/read]