Curah Hujan: Pengertian, Klasifikasi, Pengukuran, dan Alat Ukur

Indonesia merupakan negara yang berada di garis khatulistiwa. Akibatnya Indonesia memiliki musim kemarau dan musim penghujan. Dua musim ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup makhluk hidup di wilayah Indonesia. Akibatnya, masyarakat Indonesia harus mengenali faktor dari kedua musim tersebut agar dapat melakukan aktivitas dengan lancar. Salah satu faktir yang penting dari musim-musim tersebut adalah curah hujan.

Curah hujan merupakan faktor dari musim penghujan yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan. Apa itu curah hujan? Dan bagaimana pengaruhnya untuk kehidupan akan dijelaskan di bawah ini.

Curah Hujan

1. Pengertian Curah Hujan

Curah hujan adalah jumlah air hujan yang jatuh selama periode waktu tertentu yang pengukurannya menggunakan satuan tinggi di atas permukaan tanah horizontal yang diasumsikan tidak terjadi infiltrasi, run off, maupun evaporasi.

Definisi curah hujan atau yang sering disebut presipitasi dapat diartikan jumlah air hujan yang turun di daerah tertentu dalam satuan waktu tertentu. Jumlah curah hujan merupakan volume air yang terkumpul di permukaan bidang datar dalam suatu periode tertentu (harian, mingguan, bulanan, atau tahunan).

Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas permukaan horizontal. Hujan juga dapat diartikan sebagai ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir (Suroso 2006).

Pengertian curah hujan dapat juga dikatakan sebagai air hujan yang memiliki ketinggian tertentu yang terkumpul dalam suatu penakar hujan, tidak meresap, tidak mengalir, dan tidak menyerap (tidak terjadi kebocoran). Tinggi air yang jatuh ini biasanya dinyatakan dengan satuan milimeter. Curah hujan dalam 1 (satu) millimeter artinya dalam luasan satu meter persegi, tempat yang datar dapat menampung air hujan setinggi satu mm atau sebanyak satu liter.

2. Klasifikasi

Berdasarkan ukuran butirannya, klasifikasi hujan dibedakan menjadi empat yaitu:

  1. Gerimis atau drizzle merupakan presipitasi hujan dengan jumlah sedikit bahkan bisa disebut ringan yang umumnya memiliki diameter kurang dari 0.5 mm. Gerimis disebabkan oleh awan stratus kecil dan awan stratocumulus.
  2. Hujan salju atau snow merupakan hujan dari kristal-kristal kecil air yang menjadi es dan memiliki temperatur di bawah titik beku.
  3. Hujan batu es merupakan batu es yang turun dari awan yang memiliki temperatur dibawah 0° derajat celcius yang terjadi pada cuaca panas.
  4. Hujan deras atau rain merupakan curahan air yang memiliki butiran kurang lebih 7 milimeter dan berasal dari awan yang memiliki temperatur di atas 0°.

[read more]

3. Pengukuran Curah Hujan

Penakar hujan merupakan alat pengukur jumlah curah hujan yang turun ke atas permukaan tanah per satuan luas. Penakar hujan yang umumnya digunakan bernama ombrometer.

Prinsip alat ini adalah mengukur tinggi jumlah air yang masuk ke alat tersebut. Sebagai contoh: Di satu lokasi pengamatan memiliki curah hujan 20 mm, artinya lokasi tersebut digenangi oleh air hujan setinggi 20 mm (millimeter).

Berdasarkan mekanismenya, ombrometer dibedakan menjadi dua yaitu ombrometer manual dan ombrometer otomatis (perekam).

3.1 Ombrometer Manual

Alat penakar hujan manual biasanya berupa ember atau suatu tempat yang sudah diketahui diameternya. Pengukuran hujan secara manual dilakukan dengan mengukur volume air hujan yang ditampung dalam tempat penampungan, volume air hujan diukur secara periodik dengan interval waktu tertentu. Dengan cara tersebut didapatkan data curah hujan dengan periode waktu tertentu. Ombrometer manual terdiri dari dua jenis, yaitu:

3.1.1 Penakar Hujan Ombrometer Biasa

Alat ini masih sangat sederhana yang terbuat dari plat seng dengan tinggi 60 cm. Ada juga yang  terbuat dari pipa paralon dengan tinggi 100 cm. Prinsip kerja ombrometer jenis ini yaitu pembagian volume air hujan yang ditampung dengan luas mulut penakar.

Parameter yang harus dihitung yaitu luas mulut penakar serta volume air hujan yang tertampung dalam penampung. Alat ini biasa diletakkan di ketinggian 120-150 cm, namun alat ini belum bisa melakukan pencatatan secara otomatis.

3.1.2 Penakar Hujan Ombrometer Observatorium

Penakar hujan tipe observatorium merupakan salah satu alat penakar hujan manual, pengukurannya menggunakan gelas ukur untuk mengukur hujan. Penakar hujan ini merupakan penakar hujan standar di Indonesia dan banyak digunakan di Indonesia.

Kelebihan alat ini adalah pengoperasiannya yang mudah, pemasangan mudah, serta pemeliharaan yang relatif mudah. Namun alat ini juga memiliki kekurangan yaitu data yang terbatas karena hanya dapat digunakan untuk curah hujan dengan periode 24 jam saja. Pembacaan hasil dari posisi yang berbeda pun dapat menjadi kesalahan dari alat ini karena menyebabkan hasil akhir yang berbeda.

3.2 Ombrometer Otomatis

Ombrometer otomatis adalah alat pengukur curah hujan yang pencatatannya dilakukan secara otomatis, sehingga lebih efisien jika dibandingkan dengan alat penakar hujan manual.

Alat ini bisa mengukur curah hujan tinggi maupun rendah. Besarnya intensitas hujan dapat ditentukan karena pencatatan juga dilakukan untuk selang waktu tertentu. Contoh ombrometer otomatis yaitu:

  1. Penakar Hujan Tipe Hellman
  2. Penakar Hujan Tipe Bendix
  3. Penakar Hujan Tipe Tilting Siphon
  4. Penakar Hujan Tipping Bucket
  5. Penakar Hujan Tipe Floating Bucket
  6. Penakar Hujan Tipe Weighing Bucket
  7. Penakar Hujan Tipe Optical

3.3 Automatic Weather Station

Automatic Weather Station (AWS)

Automatic Weather Station (AWS) yaitu alat pengukur cuaca otomatis yang dapat digunakan secara lebih efisien dari segi tenaga manusia yang digunakan, sehingga penggunaannya pun dapat dilakukan secara lebih luas.

AWS dapat melakukan pengukuran terhadap parameter-parameter cuaca seperti suhu, curah hujan, kelembaban, lama penyinaran matahari, angin dan lain-lain.

Automatic Weather Station terdiri dari sensor- sensor yang memiliki fungsi berbeda-beda. Pemilihan sensor yang digunakan disesuaikan dengan data apa saja yang dibutuhkan oleh pengguna. Alat ini dapat digunakan pada kondisi ekstrem seperti kemarau dan badai.

Fungsi Automatic Weather Station adalah untuk merekam serta memantau perubahan cuaca secara otomatis dan real-time. Hasil dari pemantauan AWS ini dapat dilihat dalam bentuk grafik. Selain itu, beberapa AWS mempunyai ceilometer yang digunakan untuk mengukur ketinggian pada awan.

4. Penghitungan Curah Hujan yang Hilang

Seringkali data hujan tidak lengkap di suatu stasiun penakar hujan, oleh sebab itu diperlukan cara-cara untuk membangun data agar data yang ada lengkap dan bisa digunakan.

Perhitungan curah hujan yang hilang dapat dilakukan dengan Metode Normal Ratio dan Inversed Square Distance.

Metode Normal Ratio adalah salah satu metode yang digunakan untuk mencari data hujan yang hilang. Metode perhitungan yang digunakan cukup sederhana yakni dengan memperhitungkan besarnya hujan di stasiun hujan yang berdekatan untuk mencari data curah hujan yang hilang di stasiun tersebut. Variabel yang diperhitungkan pada metode ini adalah daily rainfall (CH Harian) di stasiun lain dan jumlah curah hujan satu tahun pada stasiun lain tersebut.

Adapun Metode Inversed Square Distance adalah salah satu metode yang digunakan untuk mencari data yang hilang. Metode perhitungan yang digunakan hampir sama dengan Metode Normal Ratio, yakni memperhitungkan stasiun yang berdekatan untuk mencari data curah hujan yang hilang di stasiun tersebut. Jika pada Metode Normal Ratio yang digunakan adalah jumlah curah hujan dalam 1 tahun, pada metode ini variabel yang digunakan adalah jarak stasiun terdekat dengan stasiun yang akan dicari data CH yang hilang.

Metode normal ratio termasuk metode yang menghasilkan data yang teliti, namun terdapat syarat yang harus dipenuhi ketika menggunakan metode ini, yaitu apabila hujan tahunan normalnya pada masing-masing stasiun pembanding lebih besar dari 10% terhadap stasiun yang hilang datanya (Ashruri 2015).

5. Proses Terjadinya Hujan

Proses pembentukan hujan ini termasuk ke dalam siklus hidrologi di mana air sebagai material utama yang mengalami siklus. Sedangkan suhu, cahaya matahari, dan angin merupakan unsur yang berpengaruh dalam proses pembentukan hujan. Hujan terjadi melalui proses yang tidak sederhana. Berikut merupakan sekilas mengenai proses pembentukan hujan.

5.1 Proses Penguapan (Evapotranspirasi)

Matahari merupakan sumber energi terbesar yang menyinari bumi secara terus menerus. Efek dari energi matahari yang besar tersebut menjadi awal mula terjadinya hujan di permukaan bumi. Panas yang ditimbulkan dari pancaran matahari menyebabkan semua benda yang mengandung air, kandungan airnya menguap ke udara.

Penguapan bisa terjadi dari badan air (laut, danau, sungai dan lainnya), daratan, serta makhluk hidup seperti tumbuhan maupun hewan. Proses perubahan wujud dari zat cair menjadi gas disebut dengan proses penguapan.

5.2 Pembentukan Awan

Uap air yang tercipta dari proses penguapan akan terus naik ke atmosfer hingga ketinggian tertentu dan mengalami kondensasi. Kondensasi merupakan perubahan wujud dari uap menjadi cair.

Udara yang berkondensasi akan membentuk butiran air dalam ukuran tertentu. Peristiwa kondensasi ini terjadi ketika suhu di sekitar uap air lebih rendah dari pada titik embun uap air. Suhu yang rendah menyebabkan uap air berubah menjadi embun. Embun terbentuk karena udara menjadi dingin dan udara sudah tidak dapat menampung semua uap air yang ada, maka uap air tersebut akan berubah manjadi embun.

5.3 Perjalanan Awan

Dengan adanya tiupan angin, awan tersebut bergerak ke lain tempat. Lalu awan tersebut akan mengumpul dan terbentuklah awan yang lebih besar. Awan yang terkumpul akan bergerak ke tempat yang lebih dingin dan membuat air yang terkandung menjadi jenuh. Akibatnya warnanya menjadi semakin kelabu.

5.4 Hujan Turun

Awan yang jenuh membuat titik-titik air semakin berat. Akibatnya titik-titik air tidak dapat terbendung lagi dan membuat butiran-butiran air jatuh ke permukaan bumi yang biasa disebut dengan hujan.

6. Klimatologi Global berdasarkan Curah Hujan

Bumi kita ini memiliki rata-rata curah hujan global mencapai 990 milimeter. Terlepas dari itu wilayah-wilayah di dunia memiliki kondisi curah hujannnya masing-masing yang diakibatkan bentuk topografi bumi yang berbeda-beda.

Adapun kondisi klimatologi secara global dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:

6.1 Gurun (Curah Hujan sangat Sedikit)

Gurun merupakan wilayah dataran luas yang didominasi oleh pasir. Wilayah ini memiliki suhu yang sangat tinggi pada siang hari dan suhu yang rendah pada malam hari. Dengan kondisinya yang kering, gurun memiliki curah hujan kurang dari 250 mm per tahunnya.

6.2 Wilayah Basah

Wilayah basah merupakan wilayah yang tanahnya memiliki kadar jenuh air yang tinggi. Tanah pada wilayah ini selalu basah. Banyak faktor yang menyebabkan tanah di wilayah ini selalu basah di antaranya adalah hujan yang tinggi. Kejadian hujan yang tinggi menyebabkan suhu menjadi rendah dan intensitas penguapan kecil. Dampaknya wilayah tersebut selalu basah.

6.3 Dampak Westerlies

Angin werterlies adalah angin yang berhembus pada daerah garis lintang yang selalu berhembus dari arah barat. Westerlies berhembus dari wilayah Atlantik Utara ke wilayah Eropa Barat. Salah satu kota di Norwegia, Bergen merupakan kota yang memiliki curah hujan rata-rata tahunan mencapai 2500 mm.

Saat musim gugur, semi, dan dingin daerah Amerika Serikat bagian barat dan Hawaii mengalami hujan yang disebabkan oleh badai Pasifik. Pola hujan di seluruh Amerika Serikat bagian Tenggara, Barat tengah, Barat dan wilayah tropis kacau akibat adanya osilasi dari El-Nino.

Kekeringan semakin menjadi-jadi di wilayah tropis dan sub tropis, sedangkan terjadi peningkatan curah hujan di Amerika Utara bagian Timur yang disebabkan karena pemanasan global.

6.4 Daerah Terlembap

Salah satu daerah terlembab di dunia adalah Cherrapunji yang terletak di distrik East Khasi Hills, India. Curah hujan rata-rata pertahun daerah Cherrapunji mencapai 11430 mm. Daerah lain yang merupakan daerah terlembab di dunia adalah Mount Belleden Ker yang terletak di Australia yang memiliki curah hujan rata-rata 8000 mm. Daerah Mount Waialeale yang terletak di Pulau Kaua’i, Kepulauan Hawaii pun mempunyai curah hujan rata-rata lebih dari 11680 mm.

7. Curah Hujan di Indonesia

Curah hujan di Indonesia berdasarkan pola umum terjadinya, dibedakan menjadi 3 tipe, yakni tipe ekuatorial, tipe monsun, dan tipe lokal.

7.1 Tipe Ekuatorial

Tipe ekuatorial berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke arah selatan dan arah utara yang mengikuti pergerakan semu matahari, yang dicirikan oleh dua kali curah hujan maksimum bulanan dalam satu tahun. Zona ini disebut dengan Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT) atau Inter-tropical Convergence Zone (ITCZ). Keberadaaan ITCZ akan mempengaruhi curah hujan pada berbagai tempat yang dilalui ITCZ.

Pada bulan Maret dan bulan September, ITCZ berada di garis equator dan menyebabkan peningkatan perluang terjadinya hujan di daerah tersebut. Wilayah Indonesia yang mengikuti pola ini adalah sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan.

7.2 Tipe Monsun

Tipe monsoon dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut dalam skala yang sangat luas. Monsun Barat biasanya lebih lembab dan menimbulkan hujan lebih banyak daripada Monsun Timur.

Pola monsoon biasanya mempunyai ciri-ciri adanya perbedaan yang sangat jelas antara curah hujan pada musim hujan dan musim kemarau dalam periode satu tahun.

Monsun Timur udara bergerak dengan jarak yang pendek di atas laut sehingga kandungan uap air nya lebih sedikit.

Sedangkan monsun barat bergerak dengan jarak yang jauh di atas laut sehingga massa udaranya lebih banyak mengandung uap air.

Tipe hujan ini sangat berpengaruh di Pulau Nusa Tenggara seperti Kupang, Bali, dan Jawa.

7.3 Tipe Lokal

Tipe lokal dicirikan oleh pengaruh kondisi lingkungan setempat yang kuat, seperti keberadaan laut dan badan air, pegunungan, serta pemanasan matahari yang lebih intensif.

Faktor pembentuknya diakibatkan oleh naiknya udara ke pegunungan atau dataran tinggi karena terjadi pemanasan lokal yang tidak seimbang. Tipe hujan ini banyak terjadi di Maluku, sebagian Sulawesi seperti Manado dan Papua.

Jumlah curah hujan tahunan rata-rata yang turun di berbagai tempat di Indonesia berkisar antara 500 mm sampai lebih dari 5000 mm. Banyak sedikitnya curah hujan dipengaruhi oleh letak dan ketinggian suatu tempat. Tempat-tempat yang terletak di pantai selatan atau barat memiliki curah hujan yang besar.

8. Curah Hujan di Kota-Kota Besar

Berikut adalah berbagai data curah hujan di berbagai kota besar di Indonesia pada tahun 2015.

Kota Jumlah Curah Hujan Tahunan (mm/ tahun) Jumlah Hari Hujan (hari)
Medan  975,90  105,00
Padang 3548,00  185,00
Palembang 1947,20  138,00
Lampung 1628,10  151,00
DKI Jakarta 2169,50  121,00
Kota Bogor 4000,00 320,00
Bandung 2199,30  177,00
Semarang 1620,70  140,00
Surabaya 2024,70  133,00
Bali 1133,80  124,00
Samarinda 1406,00  82,00
Pontianak 2757,70  215,00
Banjarmasin 2509,60  166,00
Menado 1807,00  127,00
Palu  460,90  68,00
Makasar 3382,00  155,00
Kupang 1163,00 103
Jayapura 1265,90  168,00

 

Dengan kita mengetahui karakteristik curah hujan khususnya di Indonesia, diharapkan kita dapat dengan mudah untuk mengelola sumber daya di Indonesia. Informasi mengenai karakteristik curah hujan di Indonesia juga dapat dengan mudah membantu kita dalam kegiatan sehari-hari kita.

[/read]