Ancaman bagi Pongo tapanuliensis, Primata Bentang Batang Toru Tapanuli Selatan

Sebagai mahasiswa kehutanan, saya coba untuk lebih mendalami ilmu yang saya pelajari. Masalah kehutanan mulai dari dasar hingga kompleks merupakan isu-isu dalam dunia kehutanan yang selalu beriringan. Saya menulis tulisan ini karena ketertarikan saya membaca artikel tentang spesies baru orang utan tapanuli yang saya pikir haruslah menjadi perhatian.

Bulan November 2017, Indonesia resmi mempublikasikan temuan spesies baru orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang ditemukan di daratan Sumatera. Habitatnya berada di ekosistem Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Spesies orang utan tapanuli adalah spesies ketiga setelah Pongo pygmaeus (orang utan kalimantan) dan Pongo abelii (orang utan sumatera).

Peneliti menduga bahwa orang utan sumatera, orang utan kalimantan dan orang utan tapanuli berasal dari nenek moyang yang sama pada masa Pleistosen yaitu saat benua Asia masih menyatu dengan Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Nenek moyang orang utan di Indonesia berasal dari dataran Asia yang berjalan ke selatan. Mereka diduga mencari makan ke arah Aceh dan Tapanuli dan ada pula yang ke arah Jawa dan Kalimantan. Adapun penjelajahan ini dipengaruhi oleh ketersediaan pakan.

Orang Utan Tapanuli

Profesor bioantropologi di Australia National University yang juga salah satu peneliti, Anton Cahyono, menuturkan penemuan ini diawali penelitian populasi orang utan sumatera pada habitat terisolasi yaitu Ekosistem Batang Toru, Tapanuli. Penelitian kemudian dilanjutkan untuk meneliti ekologi, genetik dan populasi. Dalam penelitian tersebut, Anton meneliti dimensi tubuh mereka atau morfologi dari orang utan tapanuli dengan membandingkannya dengan tengkorak dari saudaranya di Sumatra dan Kalimantan, dikutip dari pernyataan Anton kepada BBC Indonesia. Berikut karateristik ciri fisik orang utan tapanuli:

  • Tengkorak dan tulang rahang orang utan tapanuli lebih halus dari pada orang utan sumatera dan orang utan kalimantan
  • Bulunya lebih tebal dan keriting
  • Orang utan tapanuli jantan memiliki kumis dan jenggot yang menonjol dengan bantalan pipi berbentuk datar yang dipenuhi oleh rambut halus berwarna pirang
  • Mereka berbeda dengan fosil orang utan (berasal dari jaman Pleistosen akhir) berdasarkan ukuran gigi geraham
  • Panggilan jarak jauh (long call) jantan dewasa orang utan tapanuli berbeda dengan panggilan dari kedua jenis orang utan lainnya
  • Orang utan tapanuli memakan jenis tumbuhan yang belum pernah tercatat sebagai jenis pakan, termasuk biji Aturmangan (Casuarinaceae), buah Sampinur Tali/Bunga (Podocarpaceae), Agatis (Araucariaceae) dan buah Ficus
  • Warna bulu coklat lebih muda dibanding kedua jenis orang utan lain.
  • Sebagian besar hidupnya berada di atas pohon, berbeda dengan kedua jenis orang utan lain yang sering turun ke darat.

Jumlah spesies ini ada 800 ekor dalam pantauan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut dengan habitat hutan yang terfragmentasi menjadi blok barat dan blok timur. Pemisahan hutan ini akibat lembah patahan Sumatera dan adanya jalan nasional. Diperkirakan jumlah di blok barat lebih besar dibanding blok timur. Jumlah ini diperkirakan akan semakin berkurang akibat ruang habitat yang semakin terhimpit. Belum lagi, reproduksi orang utan betina hanya tiap 8-9 tahun sekali.

[read more]

Spesies ini sudah ada dalam daftar International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status Critically Endangered. Populasi orang utan tapanuli makin terancam dengan adanya pembangunan PLTA oleh pihak swasta yang dikelola oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) di kawasan Batang Toru. Walaupun pembangunan itu diklaim ‘proyek hijau’ namun dapat dipastikan merusak ekosistem hutan Batang Toru. Pengembangan pembangkit listrik tenaga air ini dinilai dapat berdampak mengurangi habitat mereka yang tersisa hingga 8%. Mereka terkonsentrasi di fragmen hutan kecil dengan luas sekitar 1.000 kilometer persegi di kabupaten Tapanuli Tengah, Utara, dan Selatan.

Membangun tanpa merusak akan terlihat lebih sah. Namun nampaknya kedua hal tersebut selalu berjalan beriringan. Tak dapat dipungkiri, perkembangan zaman dengan segala kebutuhan menuntut pembangunan yang lebih dan lebih sehingga secara ekologis pembangunan ini jelas merusak.

Dengan segala ancaman populasi orang utan tapanuli yang makin terhimpit, harusnya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) ini dapat dikaji lagi. Tuntutan juga dilontarkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Aksi damai dilakukan Walhi untuk menolak proyek pembangunan PLTA yang dikerjakan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) dan diduga didanai Bank of China di Batang Toru. Walhi mendesak pemerintah agar segera menghentikan proyek pembangunan infrastruktur dan eksplorasi tersebut.

Jumlah orang utan tapanuli yang semakin kecil dengan gerusan ekosistem yang makin melebar memunculkan spekulasi keberlanjutan orang utan tapanuli ini di masa mendatang. Nasib yang tak berbeda jauh dari kedua jenis orang utan lainnya. Sangat disayangkan, primata unik bentang alam Batang Toru dalam ancaman. Kepentingan yang katanya untuk kemaslahatan umat menodai hidup spesies yang juga bagian dari umat.

Harus dan suatu keharusan upaya konservasi yang lebih digalakan dengan melindungi habitat orang utan dari segala aktivitas dan invasi pihak luar yang memunculkan deforestasi. Habitat orang utan tapanuli harus dilindungi dari eksplorasi berlebih.

Referensi:

Amindoni A. Orangutan Tapanuli, Spesies Baru Orangutan yang masa depannya ‘Terancam’. [internet] [http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42140896] diakses pada 8 Juni 2018.

Batang Toru. Memperkenalkan Jenis Primata Baru Khas Sumatera Pongo tapanuliensis. [internet] [http://www.batangtoru.org/orangutan/?lang=id] diakes pada 8 Juni 2018.

[/read]