Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49 Tahun 1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman berkayu dan atau jenis lainnya lebih dari 50% atau jumlah tanaman pada tahun pertama minimal 500 tanaman tiap Ha. Artinya hutan jenis ini apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengenai kehutanan termasuk ke dalam hutan hak karena lahannya dimiliki oleh sektor privat atau swasta.
Hutan rakyat ini menjadi harapan baru bagi sektor kehutanan. Pulau Jawa saja setelah mengalami deforestasi yang berkepanjangan, pada saat ini pulau Jawa mengalami reforestasi. Hal ini disebabkan oleh meluasnya tutupan lahan yang berupa penggunaan lahan untuk hutan rakyat. Apabila pengelolaan hutan jenis ini dilakukan dengan benar dan dalam skala yang besar, bukan tidak mungkin keperluan kayu nasional dapat terpenuhi.
Klasifikasi
Menurut jenis tanaman yang ada pada hutan rakyat, hutan ini dibedakan menjadi hutan rakyat murni, campuran, dan agroforestry.
Hutan rakyat murni merupakan hutan yang hanya terdiri atas satu jenis pohon yang ditanam secara homogen atau monokultur.
Hutan rakyat campuran (polyculture) adalah hutan yang terdiri atas berbagai jenis pepohonan yang ditanam secara campuran.
Agroforestry adalah hutan yang memiliki kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya, seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan lain-lain yang saling terpadu.
Sub Sistem Usaha Hutan Rakyat
Dalam sistem pengusahaan hutan rakyat, terdapat berbagai sub sistem yang saling berkaitan. Menurut Bertalanffy (1975), sistem usaha hutan rakyat terdiri atas sub sistem produksi, pengolahan, pemasaran hasil, dan kelembagaan.
Hal yang menjadi bahasan pokok dalam sub sistem produksi adalah sistem budidaya, kualitas hasil, dan kelestarian hasil. Masyarakat biasanya telah melakukan sub sistem ini tanpa disadari, mereka biasanya melakukan produksi pada lahan kosong yang tidak digarap sebagai lahan pertanian atau fungsi lahan yang lain.
Sub sistem pengolahan membahas mengenai kebutuhan bahan baku, keterkaitan terhadap sumber bahan baku, serta jumlah, jenis, dan lokasi pohon atau tanaman yang akan diolah. Masyarakat yang memiliki hutan rakyat dewasa ini tidak terlalu memikirkan mengenai tata cara pengolahan, hutan jenis ini lebih seperti investasi bagi mereka dan bukan menjadi andalan utama dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari.
Beberapa hutan rakyat yang dikelola secara baik tentunya telah menjadikan hutan rakyat menjadi pilar ekonomi bagi masyarakat, biasanya kelompok tani terdaftar yang dibina untuk pengelolaan hutan inilah yang akhirnya memenuhi prinsip keberlanjutan secara ekonomi.
[read more]
Sub sistem pemasaran hasil merupakan sub sistem yang biasanya tidak dijamah oleh para pemilik atau pengelola. Sub sistem ini mencakup penentuan harga produk, struktur pasar, perilaku pasar, dan penentuan harga. Sub sistem ini yang menjadi salah satu poin penting majunya pengelolaan hutan rakyat di Indonesia. Pemasaran hasil apabila dikelola dengan baik, bahkan sampai mendapat lisensi legalitas kayu maka akan menjamin kesejahteraan para pemangku kepentingan di hutan rakyat (pemilik, pengelola, dan pemerintah). Namun masyarakat yang memiliki atau mengelola hutan rakyat saat ini notabene adalah masyarakat yang kurang dalam pendidikan, sedangkan dalam segi pemasaran memerlukan berbagai pemikiran-pemikiran orang-orang yang setidaknya berpendidikan menengah atas.
Sub sistem terakhir adalah sub sistem kelembagaan. Sistem inilah yang mengatur berbagai sub sistem yang lain agar dikelola secara optimal dan memaksimalkan prinsip pengelolaan hutan lestari (lingkungan, sosial, dan ekonomi). Sub sistem kelembagaan ini seringkali dihadapkan kepada pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang mengurusi masalah ini. Pengelolaan sub sistem lembaga pada hutan ini dapat meningkatkan pendapatan daerah sehingga dapat menjadi salah satu komoditi andalan suatu daerah administratif.
Kendala Pengelolaan
Berbagai masalah mewarnai pengelolaan hutan ini, mulai dari pemenuhan kebutuhan dasar, hak kepemilikan, keterbatasan modal, kelangkaan informasi, dan daur tanaman yang lama. Masalah-masalah inilah yang seharusnya dipecahkan oleh berbagai pihak yang kompeten agar tercipta pengelolaan yang profesional dan menyejahterakan.
Referensi:
Redaksi Forester Act
[/read]